Jendraku Pahlawanku

57 4 1
                                    

        Aku tersenyum memandangi tulisan yang berjejeran dibuku tulisku. Itu tulisan Jendra yang menuliskanku seharian ini karena tanganku yang benar benar sakit jika digerakkan sedikit saja.

        Aku tidak tau sudah berapa lama memandangi tulisannya, tetapi aku tidak merasa bosan sedikitpun. Tulisannya bahkan lebih bagus dan rajin jika dibandingkan denganku.

        Jendra ini juga ternyata sangat pintar orangnya. Baru bersekolah selama 2 hari saja dia sudah menunjukkan kepandaiannya dikelas. Seperti saat tadi pagi yang diadakan kuis matematika secara dadakan, aku hanya bisa pasrah karena belum belajar.

        Guru memberi waktu 2 jam untuk mengerjakannya, namun benar benar aku tidak bisa mengerjakan satupun dari 10 soal yang diberikan. Aku menggaruk rambutku frustasi. Sementara Jendra yang ada disampingku terlihat tenang dan fokus mengerjakannya. Bisa kulihat dia hampir menyelesaikan 10 soal itu dalam waktu 40 menit.

        Disela sela dia mengerjakan tugasnya, matanya melirik ke arahku. Aku tidak bisa berbuat apa apa selain tersenyum canggung padanya. Dia juga sempat melihat kertas jawabanku yang tentu saja masih kosong itu.

        Aku berpura pura sedang berpikir untuk mengerjakan soal soal yang sebenarnya sudah membuatku muak dan ingin muntah ini didepan Jendra. Agar aku tidak terlihat bodoh saja sih didepannya.

        Hingga waktu tersisa 10 menit kertasku masih saja kosong. Aku hanya menulis nomor lalu memberi jarak beberapa baris dari 1 hingga sepuluh. Aku menghela nafas frustasi. Aku melirik kearah Tina. Saat saat seperti ini hanya dia satu satunya harapanku.

        "Kenapa kamu menoleh noleh Kyra? Kerjakan soalmu!" Aku tersentak saat ketahuan menengok. Sial, sepertinya ini jadi moment sialku. Aku menyandarkan bahuku, mengucek mataku. Entah kenapa tiba tiba mataku memburam dan berkunang kunang. Mungkin karena pengaruh matematika yang mematikan ini.

        Aku merasakan ada seseorang menyenggol lenganku. Orang itu Jendra. Untuk memastikan aku melirik kearahnya. Ternyata benar Jendra.

        "Cepat salin punyaku. Kamu tidak punya waktu lagi!" Ucapnya tanpa bersuara. Hanya mulutnya yang mengecap. Tetapi aku tidak paham ia mengatakan apa. Aku hanya memasang ekspresi 'apa yang kamu katakan?' karena aku memang tidak paham. Jendra menuliskan sesuatu dikertas kecil lalu menggesernya kearahku.

        'Cepat salin punyaku. Kamu tidak punya banyak waktu lagi. Cepat sebelum ketahuan!'

        Saat itu juga aku menatap Jendra. Dia langsung mendekatkan kertas jawabannya padaku agar aku bisa menyalin dengan mudah. Satu persatu aku menyalin angka angka yang berjajar rapi dikertas Jendra. Tulisannya bagus dan mudah dibaca sehingga aku juga bisa dengan mudah dan cepat menyalinnya.

        Tepat waktu tersisa tinggal satu menit aku selesai menyalin jawaban Jendra. Tanganku cukup pegal menulis sebanyak itu. Soal yang simpel namun jawaban beranak. Sungguh membuatku ingin muntah emas 8 karat.

        Aku memasang senyum terbaikku pada Jendra. Mengucapkan terimakasih dengan berbisik ditelinganya. Hingga bel berbunyi dan pelajaran berakhir. Aku ingin cepat cepat keluar untuk mengisi perutku yang keroncongan karena berpikir kritis untuk matematika sialan itu.

        Aku berniat untuk membelikan Jendra sesuatu sebagai tanda berterimakasihku padanya karena dengan amat begitu baik memberikan jawabannya padaku, tanpa kuminta. Coba bayangkan seperti apa rasanya menjadi aku sekarang. Benar benar Jendraku pahlawanku.

        Aku menutuskan untuk membeli mie ayam lengkap dengan minumannya untuk Jendra. Tidak ada pilihan karena menurutku hanya itu yang mengenyangkan perut. Jendra pasti menyukainya, mungkin.

MELTED MY BOYFRIEND[END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang