Bagian 2

239 20 0
                                    

"Perkenalkan, saya Zaviyar. Saya dosen yang membimbing mahasiswa yang sedang melakukan KKN di desa ini.”

Seketika Ranum terbelalak dan kedua matanya membulat sempurna, untung saja dia bisa mengontrol mulutnya untuk tidak ikut bereaksi atas keterkejutannya. Dan pasti, itu membuat irama jantungnya tak karuan. Pemuda yang ia kira mahasiswa ternyata dosen.

“Oh iya, maaf kita tadi belum sempat kenalan. Saya Ilyas, kepala sekolah di sini.” Sahut Pak Ilyas sambil mengulurkan tangan pada Zaviyar, dan dia menyambut uluran tangan itu dengan senyum yang masih mengembang dan tatapannya masih tertuju pada Ranum.

Ranum? Jangan tanya. Dia seperti mati langkah, gugup pastinya setelah mengetahui bahwa Zaviyar seorang dosen. Tapi tak selang berapa lama, Ranum kembali ke alam sadarnya dan segera pamit untuk kembali bekerja.

“Maaf, Pak. Saya pamit dulu soalnya ini sudah ditunggu. Terimakasih sudah diizinkan cetak data ini.” Ucap Ranum sembari menunjukkan data yang baru saja ia print.

“Sama-sama, Bu.” Jawab Pak Ilyas.

“Loh, Bu. Udah balik aja. Gak di sini dulu? Itu ada Pak dosen ganteng.” Seru Bu Cici dari ruang sebelah.

“Terimakasih, Bu Cici.” Ucap Ranum penuh penekanan dan tentu dengan mata melotot ke arah Bu Cici yang membuat Bu Cici cekikikan. Sedangkan Pak Ilyas dan yang berada di ruang itu hanya menahan tawa.
Ya, Ranum selalu jadi target empuk bagi rekan-rekannya untuk guyonan semacam itu, karena dia satu-satunya pengajar perempuan yang belum menikah. Dan Bu Cici lah yang paling semangat menggoda Ranum. Bu Cici sudah seperti saudara bagi Ranum, mereka sering berbagi cerita bersama hingga keduanya sudah sama-sama mengerti satu sama lain.

Ranum segera keluar dan kembali ke TK meminta tanda tangan pada kepala sekolahnya, ia kembali keluar dari TK untuk menyerahkan data siswa-siswanya pada bidan desa.

***

Di gedung MTs, Zaviyar dan mahasiswanya masih beramah tamah dengan pihak sekolah sekaligus menjelaskan maksud mereka datang ke sana.

“Begini, Pak Ilyas.” Zaviyar memulai pembicaraan. “Ini mahasiswa saya sedang melakukan KKN di sini dan mereka berencana untuk bisa membantu beberapa lembaga pendidikan yang berada di daerah ini. Dalam kelompok ini terdiri dari 15 mahasiswa dan itu akan dibagi ke beberapa lembaga pendidikan. Tapi sebenarnya fokus mereka di desa ini untuk melanjutkan proyek TBM di RT 24 yang sudah dikerjakan teman-teman KKN sebelumnya. Jadi, tidak semua teman-teman KKN bisa membantu di sini karena mereka harus berbagi tugas. Tapi. Itupun jika pihak sekolah mengizinkan.” Zaviyar menjelaskan.

Pak Ilyas mendengar penjelasan Zaviyar dengan seksama. “Oh begitu, Pak. Kalau kami tidak keberatan jika teman-teman KKN mau membantu, malah kami senang dan kami ucapkan terimakasih sebelumnya. Tapi, ya ini. Beginilah kondisi lembaga kami. Gedungnya tidak sebesar sekolah-sekolah di luar sana, jumlah siswanya pun tidak terlalu banyak. Kami memiliki 3 ruang kelas dan 1 ruang lab computer. Kalau dihitung jumlah siswanya, sebenarnya untuk kelas VIII itu harusnya dibagi menjadi dua kelas karena jumlahnya lumayan banyak dibanding kelas VII dan XI. Tapi kami belum punya ruangan lagi jadi ya mau gak mau jadi satu kelas.” Pak Ilyas menanggapi penjelasan Zaviyar.
“Hmm…iya, Pak. Terimakasih jika bapak dan pihak sekolah mengizinkan. Untuk selanjutnya, mungkin mereka bisa bertanya langsung pada Pak Ilyas dan pengajar lain apa saja yang bisa mereka bantu di sini.”

“Baik, Pak. Kalau begitu mungkin Bu Cici bisa antar teman-teman KKN ini untuk mengunjungi anak-anak di kelas, dan membicarakan bagaimana selanjutnya. Nanti biar bertemu juga dengan pengajar lain yang sedang mengajar di kelas.”

“Iya, Pak. Sekali lagi terimakasih.”

“Sama-sama. Bu Cici, tolong ini diantarkan ya.” Pinta Pak Ilyas pada Bu Cici.

...Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang