Bagian 12

109 14 2
                                    

Malam pun tiba. Ranum yang telah mendapat pesan dari Zaviyar, mulai dari ba’da maghrib matanya berulang kali melirik ponsel yang ia letakkan tak jauh dari tempatnya duduk di kasur. Selepas sholat isya pun, gadis itu langsung kembali ke kamar menunggu kabar dari lelaki yang telah membuat hatinya tak karuan.
Jarum jam terus berdetak, semakin lama Ranum menunggu, rasa kesal kian bertambah. Entah kenapa tetes bening tiba-tiba jatuh membasahi pipinya mengingat Zaviyar yang tak kunjung ada kabar.

“Mau kamu apa sih, Mas?”

“PHP?”

“Lebih baik tadi gak usah ngomong mau bicara kalau akhirnya kayak gini. Menunggu itu capek, membosankan, dan … menyakitkan .”

Ranum berdialog sendiri menumpahkan kekesalan dengan air mata yang sesekali kembali keluar. Tak ingin Ibunya mendengar, Ranum berdiri dan mengunci pintu kamarnya lalu kembali duduk di kasur. Beberapa kali ia menyeka air mata yang tak tahu kenapa terus saja keluar.

“Kamu kenapa sih, Num? Gitu aja nangis, emang dia siapa? Gak seharusnya kamu kayak gini.”

Di saat Ranum berusaha menenangkan diri, ponselnya bergetar. Ranum mengambilnya.

[Assalamu’alaikum. Sibuk gak?] Pesan whatsapp dari Arvin.

“Ah … kenapa kamu sih yang chat?” Ranum malas untuk membalas. Tapi mengingat Arvin yang tidak tahu apa-apa tentang masalahnya, ia pun memilih membalasnya.

[Wa’alaikumussalam. Nggak.]

[Lagi ngapain?]

[Tiduran aja.]

[Sakit?]

[Enggak, cuma pingin istirahat aja.]

[Oh, ya udah. Aku ganggu gak?]

[Boleh ngobrol bentar?]

[Voice call?]

Tiga pesan beruntun masuk dari Arvin, membuat ponselnya tak henti bergetar. Ranum yang merasa kesal, melempar ponselnya ke samping dan hampir saja terjatuh dari atas kasur.

"Astaghfirullahal 'adziim. Ranum kamu ngapain sih? Kalau jatuh beneran dan rusak kamu sendiri yang repot. Harga HP gak murah, Num. Butuh gaji berbulan-bulan biar bisa beli HP baru." Rutuknya.

Lalu ia kembali melihat chat pada WhatsApp.

[Mau ngapain?]

[Kan tadi udah bilang, mau ngobrol.]

[Iya, ngobrol apa maksudnya? Sampek mau voice call segala.]

[Gak mau ya? Ya udah, gak apa-apa.]

[Chat aja, lagi males ngobrol.]

[Kenapa? Ada masalah?]

Ranum tak membalas, malah meletakkan ponselnya sedikit menjauh dari posisi duduknya. Hatinya tak lagi dalam kondisi mood yang baik untuk sekedar berbasa-basi dengan Arvin. Ia berbaring, menutup wajahnya dengan bantal. Ingin berteriak tapi takut ada yang mendengar. Terdengar lagi getar ponselnya. Ranum abaikan, hingga tiga kali ponselnya bergetar. Akhirnya tangan kanannya berusaha meraih ponselnya dengan kepala yang tetap tertutup bantal.

“Bodoh amat, Mas. Udah capek nungguin.” Ucap Ranum saat melihat pesan WhatsApp yang muncul, lalu ia letakkan lagi ponselnya tanpa membalas pesan yang masuk.

Cukup lama berselang, Ranum hampir saja tertidur saat ponselnya bergetar kembali. Ia melirik, terlihat nama lelaki yang sedari tadi ditunggu muncul pada layar ponselnya. Ranum yang masih kesal tak langsung menerima panggilan telepon Zaviyar. Hingga dua kali panggilan, Ranum tak mengangkatnya, dan panggilan ketiga baru ia angkat itu pun setelah cukup lama ponselnya bergetar.

...Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang