"Vin, sibuk gak?" Ranum mengirim pesan pada Arvin.
Tak berselang lama, ponsel Ranum berdering. Panggilan dari Arvin, Ranum mengangkatnya dan sapa salam terucap dari keduanya.
"Boleh cerita?"
"Silahkan, Nona."
Ranum tak lagi berbasa-basi. Ia langsung berbicara pada intinya. Ia ceritakan semuanya. Tentang Zaviyar yang masih setia menunggu, kemunculan Aldi, dan tentu tentang kebimbangan hatinya.
"Hatimu itu milikmu. Jadi, yang lebih tahu itu ya kamu sendiri," kata Arvin menanggapi.
"Hati ini milik Allah, yang sewaktu-waktu bisa dibolak-balikkan," jawab Ranum.
"Terus, apa sekarang hatimu sudah berbalik arah?"
"Maksud kamu?"
"Ya udah gak sama dosen itu."
"Sama Aldi maksudnya? Ya, nggaklah," tegas Ranum.
"Gak harus sama Aldi, mungkin aja ada yang lain. Siapa tahu aku." Arvin terkekeh.
"Gak lucu."
Mereka masih terus berbincang. Lebih tepatnya Ranum bercerita dan Arvin setia mendengarkan. Arvin hanya akan bersuara jika dirasa perlu, selebihnya Ranum yang banyak mengeluarkan keluh kesahnya.
"Sekarang aku harus gimana sama Aldi?" tanya Ranum.
"Jangan kasih harapan," ujar Arvin mantap.
"Aku udah nolak dia tiap kali ngajak keluar."Ya. Memang beberapa kali Aldi memberikan tawaran pada Ranum untuk keluar. Entah sekedar jalan-jalan atau makan di suatu tempat, tapi Ranum selalu menolaknya.
"Bagus," jawab Arvin.
Obrolan pun terus bersambung. Ranum menceritakan bagaimana Aldi dulu dan sekarang setelah lama tak bertemu. Ketidak nyamanan Ranum pada Aldi yang dirasa tak seperti dulu lagi, dan juga keinginannya untuk tetap menjaga hatinya untuk sang dosen muda ia ungkapkan pada Arvin, meski belum jua ada keberanian untuk mengatakan semuanya pada Zaviyar. Tapi, Ranum tak ingin mengecewakan lelaki itu.
“Aku khawatir dia benar-benar …” kalimat Ranum menggantung.
“Suka sama kamu? Iya, aku rasa dia memang suka sama kamu,” sahut Arvin.
Ucapan Arvin sontak membuat semakin khawatir.
“Vin, jangan bercanda!”
“Siapa yang bercanda, Num? Aku juga laki-laki dan aku pastikan kalau dia memang suka sama kamu dan mungkin sudah lama, cuma kamunya aja yang gak nyadar.”
Ranum semakin terdiam. Dia semakin bingung jika nanti harus menghadapi Aldi. Ia tak tahu harus berkata apa jika laki-laki yang sudah dianggap sahabat bahkan keluarga itu sampai mengungkapkan perasaannya.
Arvin yang seperti mengerti apa yang dipikirkan Ranum saat ini, tak ingin banyak bicara. Namun, ia pun tak tega menyadari gadis manis itu sedih dalam kebimbangan hatinya.
“Gak usah dipikir. Ikuti kata hatimu aja,” ucap Arvin.
Tak ada sahutan. Ranum larut dalam lamunannya hingga tak mendengar kata-kata Arvin.
“Num?” panggil Arvin.
“Eh … i-iya, apa?” sahut Ranum gelagapan.
“Anak gadis jangan suka melamun.”
“Nggak. Kamu tadi ngomong apa?”
“Ikuti kata hatimu. Hati yang akan menuntunmu menemukan jalannya.”