Bagian 9

108 12 0
                                    

Rembulan tak lagi terlihat di sudut langit. Mentari telah menyapa bumi, menyembulkan sinarnya yang hangat. Ranum sudah terlihat lebih segar dan siap berangkat ke sekolah. Teringat akan percakapan semalam dengan lelaki yang selalu mendebarkan jantungnya, membuat Ranum ingin senyum tapi juga khawatir memikirkan apa yang sebenarnya akan dikatakan Zaviyar nanti.

Ranum melangkah dengan pasti menuju sekolah. Dengan senyum manisnya, ia lalui aktivitasnya di sekolah. Denting waktu terus berputar, hingga jam sekolah usai Ranum tak henti menyunggingkan senyum. Entah mengapa hari itu terasa indah bagi Ranum, hingga terasa begitu cepat berlalu. Hatinya kini berbunga, angannya kembali melayang atas ucapan-ucapan Zaviyar semalam.

“Jangan baper, Num. Nanti kecewa lagi, sakit hati lagi.” Lirihnya.

Satu per satu pengajar yang lain masuk ke ruang guru setelah semua siswa pulang.

“Bu Ranum jadi kapan ke Malang?” Tanya Bu Sri.

“Insya Allah besok saja, Bu.”

“Bu Irna, apa uangnya sudah disiapkan?” Bu Sri mengarahkan pandangannya pada Bu Irna.

“Sudah, Bu. Ini.” Bu Irna meletakkan amplop berisi uang di atas meja depan Bu Sri.

“Oh iya, terima kasih, Bu.” Bu Sri mengambil amplop tersebut dan memberikan pada Ranum.

“Ini Bu Ranum. Untuk bukunya seperti apa, terserah Bu Ranum saja besok. Bu Ranum bisa melihat-lihat dulu mana yang cocok untuk anak-anak.”

“Baik, Bu.”

***

Petang menjelang, suara adzan kembali menggema menandakan panggilan Sang Rabb telah datang. Ranum dan Ibunya telah bersiap melakukan sholat. Do’a pun mereka panjatkan sebelum mengakhiri munajatnya pada Sang Khalik.
Hati Ranum yang seolah dihiasi bintang-bintang sejak obrolannya dengan Zaviyar semalam, beberapa kali terlihat senyum-senyum sendiri di kamar. Meski seharian belum ada kabar dari lelaki yang kini mengisi relung hatinya. Tapi, ia merasa tenang tanpa ada pikiran negatif yang berkeliaran di benaknya seperti sebelumnya.

Ranum yang hari itu lebih santai, tanpa ada data atau laporan yang harus segera dikerjakan, duduk di kasur lalu mengambil ponsel yang ia letakkan di sana. Ranum membuka aplikasi facebook yang sudah cukup lama dianggurin. Nampak sudah ada 3 inbox yang masuk.

[Oh Kabupatennya. Pernah main ke Malang?] Pesan yang terlihat pada inbox dari Arvin. Nampak tanda hijau pada foto profil akun itu, menandakan sang pemilik akun tengah aktif.

[Pernah, lumayan sering]
Ranum menutup chat dengan Arvin, lalu membuka 1 chat lagi yang terlihat ada pesan masuk entah sedari kapan.

[Pasuruan. Gak jauh juga]

[Foto profilmu gak ada yang jelas ya?] Dua pesan dari Hafie.
Dari situ, Ranum terus bergantian membalas pesan dari Arvin dan Hafie.

[Ke mana?] Tanya Arvin.

[Bisa ke toko-toko buku, Matos, atau sekitaran Alun-alun situ]

[Keliling dong? Hehehe]

[Iya]

[Gak ada rencana ke Malang dalam waktu dekat ini?]

[Insya Allah besok]

[Beneran?]

[Iya]

[Sama siapa?]

[Sendiri]

[Naik apa?]

[Motor]

[Oh. Boleh ketemu?]

[Mau ngapain?]

[Ya ketemu aja, biar makin kenal. Siapa tahu kapan-kapan kamu pas ke sini lagi butuh bantuan kan enak kalau ada yang kenal]

...Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang