"Jika ada gadis lain yang membuat Mas nyaman dan dia serius, Insya Allah aku ikhlas melihatmu bahagia dengan gadis itu, Mas."
"Ya Allah, Ra. Kenapa kamu mikir seperti itu? Aku gak ada niat untuk dekat dengan gadis lain, saat ini yang selalu ada dalam do'aku cuma kamu."
"Aku gak mau nyakitin Mas Zav dengan sikapku ini, tapi jujur aku masih belum ada keberanian untuk melangkah lebih jauh."
Zaviyar menghela nafas pelan. Hembusan nafasnya terdengar berat meski ia coba menahannya. Tangannya mengusap tengkuknya yang kini juga terasa berat. Tak ingin ia membuat gadis yang disayangi semakin bingung dan sedih. Meski dirinya sendiri merasakan hal serupa, tapi ia sadar bahwa ia laki-laki yang kelak menjadi imam dan harus bisa lebih tenang bagaimanapun kondisinya.
"Ra, aku memang berharap kita bisa menikah secepatnya. Tapi, bukan berarti aku akan memaksamu. Insya Allah aku akan tetap menunggumu, aku yakin tidak lama lagi waktu itu akan tiba. Jadi, tolong jangan bicara yang aneh-aneh."
Tak ada jawaban dari seberang telepon. Keduanya terdiam dengan hati dan pikiran masing-masing. Sesekali terdengar suara tangis Ranum, meski gadis itu sekuat tenaga menahannya. Tapi, air matanya luruh juga. Zaviyar pun masih mencoba menenangkan meski hanya melalui sambungan telepon.
"Ra, udah. Tolong jangan nangis lagi. Serahkan semuanya pada Allah, minta padanya untuk menjaga hati kita. Karena aku yakin, hatimu masih untukku."
Deg!
Tentu saja kata-kata Zaviyar seperti sebuah tamparan bagi Ranum. Gadis itu kembali sadar bahwa benar yang dikatakan Zaviyar, hatinya sudah terlanjur terikat pada sosok yang kini sedang berbicara dengannya di seberang telepon. Tapi bayangan masa lalu kenapa seperti terus menghantui, hingga membuatnya takut untuk menerima lelaki yang sudah begitu sabar menunggunya.
"Maaf, Mas. Mungkin aku sudah banyak menyakiti hati Mas Zav."
"Enggak, Ra. Selama kita sama-sama berusaha menjaga satu sama lain. Insya Allah gak akan ada yang tersakiti."
"Tapi, Mas ..."
"Tolong percaya padaku dan jangan ragukan aku, Ra."
Tak ada hal yang lebih membahagiakan selain mendapatkan ketulusan dari orang yang kita sayang. Mungkin begitulah bagi sebagian orang. Tapi, bagi Ranum saat ini justru sangat menyesakkan.
Perasaan bersalahnya pada sosok lelaki yang tulus menyayanginya semakin besar. Ia tahu bahwa hatinya pun begitu menyayangi lelaki itu, tapi ketakutannya masih saja menghalanginya untuk mengungkapkan yang sebenarnya. Hanya air mata yang sudah berulang kali ia seka tapi masih saja mengalir membasahi pipinya, yang mampu menggambarkan perasaan Ranum saat ini.
Mendengar kata-kata Zaviyar membuat Ranum makin sadar seberapa tulus perasaan Zaviyar untuk dirinya. Ada rasa haru dalam hati gadis manis itu, tapi lagi-lagi ia belum bisa memberi kabar bahagia untuk lelaki yang ia sayang tersebut. Dan karena hal itu, ia tak ingin membuat lelaki berwajah teduh itu menunggunya lebih lama.
"Mas, apa boleh dalam waktu dekat ini aku pergi ke Malang?" tanya Ranum.
"Boleh, sama siapa?"
"Sendiri. Tapi, mungkin nanti di sana ketemu Arvin."
"Iya, hati-hati. Semoga setelah itu kamu bisa lebih tenang," ucap Zaviyar penuh harap.
Zaviyar yang sudah sering berbagi cerita dengan Ranum tak lagi menaruh curiga jika gadis itu bertemu dengan Arvin. Karena Ranum pun tak jarang bercerita tentang Arvin yang hanya dia anggap sebagai teman."Iya, Mas. Sekali lagi maafin aku."
"Udah, Ra."
Zaviyar pun mencoba menghibur Ranum, mengalihkan pembicaraan. Ia menceritakan tentang Radit dan juga istrinya yang kini sedang hamil muda. Terkadang Ranum yang ganti bercerita tentang tingkah pola anak didiknya. Dan suasana pun kembali mencair. Hingga tak terasa malam semakin larut dan keduanya memutuskan untuk beristirahat dan mengakhiri sambungan telepon.