Suasana ruang tengah rumah Ranum pun menegang, dua lelaki yang duduk berhadapan saling pandang. Sedangkan yang lain, ekor matanya bergerak bergantian menatap kedua lelaki yang sama-sama terlihat ingin menyerang.
Melihat keadaan seperti itu, Ranum yang memang masih dalam kondisi lemah merasakan nyeri di kepala. Ia pun mendesis pelan, menahan rasa sakit dan tangan kanannya memegang bagian belakang kepalanya yang terluka.
Orang-orang yang berada di ruang tersebut mengalihkan pandangan pada Ranum, termasuk Zaviyar dan Aldi.
"Ra, kamu gak apa-apa?" ucap Zaviyar khawatir.
"Gak apa-apa, Mas?"
"Kita ke kamar aja yuk, Sayang," kata Bu Dini dengan wajah yang juga nampak khawatir.
"Iya, Bun tolong temani Ranum," pinta Zaviyar.
"Gak usah, Bun. Gak apa-apa." Ranum menatap Zaviyar. "Mas, bener aku gak apa-apa kok," ucap Ranum meyakinkan.
Mendapati hal itu, Aldi menyadari bahwa Ranum memang telah begitu dekat dengan keluarga lelaki dari kota pahlawan itu. Meski begitu, hati Aldi belum bisa sepenuhnya menerima kenyataan itu.
"Al, maaf. Aku gak mau lagi ada kesalahpahaman di sini," ucap Ranum sambil menahan sakitnya. "Ada perlu apa kamu ke sini?" tanya Ranum.
Aldi menatap Ranum, mengatur duduk lebih santai. "Aku hanya ingin melihatmu, Num. Beberapa hari yang lalu aku ke sini dan kata tetangga, kamu sedang dirawat di rumah sakit karena kecelakaan," jelas Aldi.
"Lalu, bagaimana kamu bisa tahu kalau hari ini aku sudah pulang?"
"Tidak, sebenarnya aku tidak tahu. Tadi kebetulan ada acara dengan teman-teman kantor di tempat wisata dekat sini. Kemudian aku mampir untuk mencari tahu kabarmu. Kebetulan kamu sudah pulang."
"Alhamdulillah aku baik-baik aja, Al. Hanya sedikit luka di kepala."
Aldi menghela napas panjang, seperti hendak mengeluarkan beban dari hatinya. Melihat kedekatan Ranum dan keluarga Zaviyar, membuat hatinya terbakar cemburu.
"Sebelumnya saya mau minta maaf, terutama padamu, Num," ucap Aldi setelah sesaat hanya diam.
"Maaf waktu itu sudah mengganggumu hingga kamu harus mengalami hal ini tapi apa yang aku katakan waktu itu benar adanya, Num.. Aku masih berharap kamu memikirkan hal itu. Kamu yang dulu memberiku harapan."
"Ya Allah, Al. Bukannya waktu itu aku sudah jelaskan semuanya. Aku kira kamu sudah mengerti dan menerima keputusanku."
Zaviyar yang mendengar hal itu kembali dibuat geram dengan sikap Aldi. Apalagi saat ini kondisi Ranum juga belum pulih betul.
"Al, tolong kamu jangan kekanak-kanakan. Ranum sudah membuat keputusan, lagian itu semua masa lalu. Kamu juga sempat menghilang dari hidup Ranum, jadi jangan terus menyalahkannya." Tiap kata yang diucapkan Zaviyar penuh penekanan.
"Num, Coba pikirkan sekali lagi. Kalau kamu memang dengannya ...." Jari telunjuk Aldi mengarah pada Zaviyar. "... bagaimana kehidupan kamu nanti? Apa kamu akan tinggal bersamanya dan meninggalkan ibu di sini sendirian?"
"Hentikan! Jangan lagi kamu merusak kebahagiaan kami hanya karena egomu. Aku pasti akan memikirkan itu dengan baik dan gak akan ninggalin Ibu gitu aja setelah mendapatkan Ranum." Kini tangan Zaviyar sudah mengepal seperti ingin meninju Aldi.
Arvin yang sedari tadi hanya mendengar, akhirnya ikut bicara.
"Maaf, Bro. Bukan maksud ikut campur, tapi cobalah sedikit lebih dewasa. Di sini bukan cuma kamu yang sayang sama Ranum lebih dari teman. Aku pun menyayangi Ranum lebih dari itu."
Mata Ranum membulat sempurna ke arah Arvin. Ia tak menyangka jika lelaki yang sudah dianggap teman baik itu ternyata memiliki rasa pada dirinya.
Arvin hanya tersenyum pada Ranum dan melanjutkan ucapannya. "Kalau benar kamu sayang dan cinta pada Ranum, harusnya kamu bahagia lihat orang yang kamu sayangi bahagia. Okey, aku gak munafik, pasti ada rasa sakit dan cemburu di hati, tapi untuk apa kita paksakan. Kamu tahu sendiri masalah hati gak bisa dipaksa, buktinya kamu sendiri gak bisa kan maksa hati kamu buat lupain Ranum." Arvin memperhatikan Aldi yang hanya diam tak menjawab.
"Benar, 'kan? Kalau begitu kmau pasti sadar betul kalau hati Ranum juga gak bisa dipaksa untuk cinta sama kamu ataupun aku?"
Tanpa perlu dijawab, Arvin hanya menepuk bahu Aldi yang masih terlihat tegang dan emosi. Di sisi lain, Pak Qosim sudah mendekati Zaviyar untuk menenangkan putranya agar tidak terjadi keributan di rumah Ranum.
Hening beberapa menit. Tak ada lagi yang memulai obrolan, hingga akhirnya Aldi mohon pamit dengan raut wajah yang sulit diartikan. Tak lama berselang, Arvin pun juga pamit undur diri karena waktu yang semakin sore. Kini tinggal Zaviyar, Bu Dini, dan Pak Qosim di rumah Ranum.
Di ruang tengah, dua keluarga tersebut membicarakan tentang kelanjutan hubungan Ranum dan Zaviyar. Nampak raut bimbang di wajah Ranum. Semenjak kedatangan Aldi, gadis manis itu tak lagi sebahagia sebelumnya. Ada hal yang mengganggu pikirannya.
"Kamu kenapa, Ra?" ucap Zaviyar saat mereka hanya berdua.
"Gak apa-apa, Mas."
"Kamu udah janji akan jujur apapun yang terjadi, sekarang masih mau mengelak?"
Ranum menghela napas kemudian berkata, "Benar yang dikatakan Aldi. Setelah menikah nanti, kita mau tinggal di mana? Kita sama-sama anak tunggal, Mas."
"Sebenarnya aku sudah pernah memikirkan hal itu dan sempat pula ku tanyakan pada Ayah dan Bunda."
"Lalu?"
"Ayah dan Bunda tidak memaksaku untuk mengajakmu pindah ke Surabaya. Bahkan Bunda memintaku untuk tinggal di sini bersama kalian."
"Terus kerjaan Mas Zav gimana?"
Zaviyar menarik napas panjang dan mengembuskannya. "Untuk hal itu aku masih memikirkannya, tapi kamu tenang aja." Senyum Zaviyar terukir di bibirnya agar gadis manis di hadapannya itu tenang.
Raut wajah Ranum belum berubah, masih ada kecemasan di sana yang membuat Zaviyar pun ikut cemas.
"Ra, jangan bilang kamu berubah pikiran dan menolak lamaranku waktu itu."
"Enggak, Mas. Masalah hati gak akan berubah, Mas. Aku sayang dan cinta sama kamu, tapi ...."
"Tapi apa?"
"Tunggu sampai kita dapat jalan keluar terbaik."
E N D
-------------------------Terima kasih yang sudah setia membaca tulisan ini.😊🙏