Seperti sebuah taman yang dipenuhi bunga di musim semi, di mana semua bunga bermekaran penuh warna. Mungkin begitulah hati Ranum ketika mendengar kalimat yang terucap dari bibir lelaki yang kini duduk di hadapannya.
Bahagia, pasti. Gugup, tentunya. Tapi, takut pun ikut bersarang dalam hati gadis itu. Bukan hanya dirinya yang ia pikirkan jika sampai hubungannya dan Zaviyar gagal di tengah jalan. Namun, Ranum lebih memikirkan perasaan Sang Ibu yang pasti akan ikut kecewa. Ranum masih membisu, ia seperti terkunci, tak mampu menjawab pertanyaan dari Zaviyar.
"Ra. Aku gak akan ngajak kamu pacaran, aku serius. Bukan waktunya lagi buat kita untuk bermain-main dengan sebuah hubungan."
Helaan nafas panjang Zaviyar terdengar jelas di telinga Ranum. Lelaki berwajah teduh itu mengambil minum dan menegaknya.
"Cukup kamu tahu, sejak pertemuan pertama kita, entah kenapa aku merasa tertarik untuk lebih mengenalmu. Dan semakin hari perasaan ini semakin kuat, Ra."
Ranum semakin terpaku. Kepalanya tertunduk, kedua tangannya menggenggam gelas minuman seakan mencari pegangan agar tidak sampai terjatuh jika ternyata itu hanya sebuah mimpi.
"Jika memang ruang di hatimu masih kosong, izinkan aku mengisi ruang itu. Aku gak akan memaksamu untuk menjawab sekarang, aku akan menunggu sampai kamu yakin akan diriku."
"Kita jalani semuanya sesuai alur, aku ngerti mungkin bagimu ini terlalu cepat. Tapi, jujur aku harap kamu mau menjaga hatimu untukku." Pungkas Zaviyar.
Ranum masih menunduk, tak ada keberanian untuk menatap wajah lelaki di depannya. Ia takut akan semakin gugup jika kedua netranya beradu dengan lawan bicaranya itu. Gadis bermata tajam itu mengambil oksigen sebanyak-banyaknya dan mengembuskannya perlahan. Coba ia beranikan diri mengangkat kepala, tapi saat menyadari Zaviyar tengah memandangnya. Ranum memalingkan muka, menghindari tatapan Zaviyar.
"Mas, jangan lihatin gitu kenapa." Ucap Ranum dengan pipi yang mulai memerah mendapati Zaviyar tengah menatapnya.
"Ya kamu ngomong kalau gak mau aku lihat terus. Aku udah ngomong panjang lebar kamu diem aja."
"Maaf, Mas ... aku masih takut menyimpulkan rasa ini. Aku takut kecewa, aku takut berakhir sakit."
Ranum kembali menunduk, memainkan jari-jari tangannya untuk meredam rasa gugup dalam dada.
"Tapi, tak bisa kupungkiri ... ada rasa nyaman setiap kali bicara sama kamu, Mas." Suara Ranum bergetar.
Senyum pun terukir indah di bibir Zaviyar. Wajahnya yang rupawan semakin menawan karena binar bahagia yang terpancar dari mata lelaki itu. Meski tak secara gamblang, tapi Zaviyar cukup mengerti isi hati gadis di hadapannya itu.
"Dan masalah hati bukan sepenuhnya milik kita. Allah-lah sang pemilik hati, Dia yang mampu membolak-balikan hati kapan saja." Lanjut Ranum.
"Iya, aku tahu. Tapi kalau kita berusaha menjaganya dengan meminta ridho-Nya, Insya Allah bisa."
Jus di hadapan Ranum sudah habis. Ia pamit sebentar untuk memesan minuman lagi. Karena entah kenapa udara yang sejak tadi sejuk, tiba-tiba terasa panas dan membuatnya ingin minum sebanyak-banyaknya.
"Jangan dipikir terlalu berat. Jalani aja dulu. Untuk sekarang cukup bertukar kabar dan cerita supaya kita bisa lebih mengenal satu sama lain." Ucap Zaviyar setelah Ranum kembali.
"Baiklah. Semoga keputusan kita gak salah, Mas" Ucap Ranum.
"Aamiin."
Obrolan yang cukup menegangkan pun berakhir. Ada perasaan lega di hati kedua insan itu. Sesekali mereka saling lirik dan melempar senyum. Suasana canggung begitu terasa karena obrolan sebelumnya.