Ranum tiba di rumah setelah adzan Isya berkumandang. Ia segera mengambil wudhu' dan ikut sholat bersama Bu Ratih. Hatinya kini merasa lebih tenang. Ada rasa lega di dalam hati setelah pergi ke kota dingin tadi. Tak sia-sia ia mendatangi kota itu dan bertemu dengan Arvin, sosok lelaki yang sudah dianggap sahabat oleh gadis manis bermata tajam itu.
Jawaban yang ia cari didapatkan dan keputusan pun telah ia ambil untuk masa depannya nanti.
"Maghrib tadi udah sholat?" tanya Bu Ratih.
"Udah, Bu. Tadi mampir di masjid dulu kok."
Ranum yang memang belum makan malam, menuju meja makan dan melihat masakan Bu Ratih yang sudah tersedia di sana. Bu Ratih menemani putrinya itu makan malam. Melihat wajah Ranum yang lebih tenang dari sebelumnya, membuat wanita paruh baya itu ikut tenang.
Meski tanpa bertanya, dan Ranum pun tak bicara apapun. Tapi, mata hati seorang Ibu seolah tahu akan apa yang dipikirkan sang anak. Bu Ratih percaya bahwa apapun keputusannya, itu pasti yang terbaik untuk putrinya.
Ranum yang sudah menyelesaikan makan malamnya, segera membersihkan meja makan dan piring yang kotor. Ia terlihat lebih bersemangat dibanding sebelum ia pergi ke Malang. Matanya berbinar, kedua sudut bibirnya beberapa kali tertarik ke atas membentuk lengkungan kecil yang membuatnya terlihat lebih ceria dan tentu manis. Setelah semuanya beres, Ranum pamit pada Bu Ratih untuk lebih dulu masuk ke dalam kamar.
Ponsel menjadi incaran pertama Ranum saat sudah berada di kamar. Ia segera duduk di ranjang dan mengambil satu bantal untuk ia dekap di pangkuan, tubuhnya ia sabda pada dinding ranjang. Ponsel sudah di tangan. Dengan wajah sumringah dan hati berdebar Ranum membukanya.
"Insya Allah hari Minggu nanti aku ke sana. Ada apa?"
Senyum pun semakin terkembang di bibir Ranum membaca pesan dari Zaviyar.
"Okey. Aku tunggu."
Selang beberapa detik dari pesan yang Ranum kirim, foto profil lelaki tampan muncul di layar ponselnya. Dengan hati yang ... entah bagaimana gadis itu menggambarkan perasaannya sat ini. Ada getar yang semakin kuat dalam hatinya. Bukan kali pertama Ranum menerima panggilan telepon dari Zaviyar. Tapi, kali ini ritme jantungnya benar-benar tak beraturan.
Dengan senyum yang tak henti tersungging di bibirnya, Ranum berusaha menenangkan degup jantungnya. Tangan kanannya me megang dada, dan yang kiri memegang ponsel. Ia menarik nafas pelan dan mengeluarkannya sembari menekan tombol hijau pada layar ponselnya.
Sebuah salam terdengar dari seberang telepon. Suara yang memang sudah sangat dikenal oleh Ranum membuat jantungnya kembali berdetak cepat. Ranum menjawabnya dengan nada yang mungkin bisa ditangkap Zaviyar bahwa gadis itu sedang bahagia.
"Mau ngomong apa?" tanya Zaviyar.
"Nanti aja kalau Mas Zav ke sini."
"Kalau mau ngomong, ya ngomong aja, Ra."
"Aku maunya ngomong langsung dihadapan Mas Zav. Banyak hal yang harus aku katakana sama kamu, Mas."
"Ah ... kamu bikin penasaran aja."
Ranum terkekeh mendengar ucapan Zaviyar. Bunga-bunga di hatinya yang sempat layu, kini sepertinya kembali segar dan bersemi indah.
"Biar Mas Zav tahu rasanya penasaran. Dulu Mas Zav juga buat aku penasaran habis marah karena aku ketemu Arvin. Pakek gak ngabarin juga kalau jadi ke sini."
Tawa Zaviyar terdengar jelas oleh Ranum, dan itu membuat Ranum semakin bahagia bisa mendengar tawa lelaki yang ia sayang.
"Ra, panggilan video ya?" pinta Zaviyar.