Bagian 24

152 18 2
                                    

Sebuah kalimat yang begitu manis meluncur indah dari mulut lelaki yang duduk di depannya. Zaviyar berhasil membuat jantung Ranum hampir saja berhenti berdetak saking bahagianya.

Ranum tak mampu lagi menyembunyikan rasa harunya atas apa yang baru saja didengar. Tetesan air mata mulai jatuh di pipinya, tapi binar bahagia pun terpancar dari wajahnya yang terlihat masih pucat.

"Mas Zav, aku gak lagi mimpi, 'kan?" Ranum meyakinkan diri sendiri.

Zaviyar menggeleng pelan dan tetap dengan tatapannya pada Ranum lalu berkata, "Ini nyata, Ra. Apa kamu bersedia menikah denganku?" Zaviyar mengulang ucapannya.

Ranum tak lagi mengeluarkan suara, air matanya makin deras meluncur.

"Ra, jangan nangis. Kita belum halal, aku belum bisa peluk kamu," canda Zaviyar.

"Mas Zav apaan, sih. Lagi melow juga sempat-sempatnya bercanda." Ranum mulai menyeka air matanya yang terlanjur membasahi pipinya.

"Mau apa gak, Ra?"

"Masih perlu aku jawab? Apa Mas Zav belum tahu juga isi hatiku?"

"Aku tahu, tapi aku ingin mendengarnya langsung darimu. Jadi, apa kamu mau menjadi istri dan ibu dari anak-anakku nanti?"

Kembali air mata Ranum luruh tak terbendung. Hening beberapa saat. Hanya bulir-bulir air mata dan beberapa kali anggukan menjadi jawaban Ranum pada Zaviyar tanpa mampu berkata-kata.

"Ngomong, Ra. Aku pingin dengar langsung dari mulut kamu."

"Aku mau, Mas. Tentu aku mau. Aku gak mau lagi kesalahpahaman seperti kemarin terjadi lagi," ucap Ranum yang mulai terisak.

"Maaf, Ra. Maafkan aku yang egois. Aku janji setelah ini akan belajar lebih baik lagi, belajar untuk lebih mengenalmu. Maka dari itu, tolong katakan apapun yang terjadi sama kamu. Apa yang kamu pikir dan kamu rasa,  katakan padaku, Ra. Katakan dan ceritakan semuanya."

"Iya, Mas. Tapi, mas Zav juga harus selalu jujur apapun yang terjadi."

"Tentu. Maaf, aku melamarmu di sini. Aku gak mau kehilangan kesempatan lagi."

Dua insan berbeda jenis yang hatinya tengah menari-nari bahagia itu masih terus berbincang. Kemudian derit pintu membuat keduanya beralih pandang ke arah pintu yang sudah terbuka.

"Maaf, ganggu." Senyum Arvin terkembang tanpa rasa bersalah memasuki ruang perawatan Ranum.

"Udah dari tadi?" tanya Zaviyar.

"Lumayan."

"Kok gak masuk?" kata Ranum.

"Adegan lagi romantis masa mau dipotong gitu aja, nanggung."

Ketiganya tertawa kecil. Tak berselang lama setelah Arvin tiba. Bu Ratih, Bu Dini, dan Pak Qosim juga datang sehabis mencari sarapan.

"Eh, nak Arvin di sini juga?" sapa Bu Ratih.

"Iya, Bu. Baru beberapa menit yang lalu datang. Eh, gak taunya pas ada adegan romantis."

Bu Ratih, Bu Dini dan Pak Qosim saling lempar pandang dengan dahi berkerut dan ekspresi penuh tanya.

"Jangan mikir macam-macam, Bun, Yah. Arvin aja yang berlebihan." Zaviyar menegaskan sambil melirik ke arah Arvin yang sedang tersenyum.

"Lalu?" Bu Dini mencari jawaban.

"Ada yang habis melamar, Bu," celetuk Arvin.

"Dan ... hasilnya?" Pak Qosim ikut angkat bicara.

"Diterima," tutur Arvin  yang membuat wajah pucat Ranum bersemu merah.

...Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang