"Halo, Zav. Ranum di rumah sakit sekarang.” Tanpa basa-basi Arvin mengatakan pada Zaviyar sesuai informasi yang ia dapat.
“Astaghfirullohal'adzim. Apa yang terjadi dengan Ranum?” Terdengar kepanikan dari suara Zaviyar.
Kabar yang baru saja didengar, membuat Arvin cukup panik hingga ia lupa menanyakan apa yang terjadi pada Ranum. Hanya alamat rumah sakit tempat gadis itu dirawat saja yang ditanyakan.
“Okey, kirim alamat rumah sakitnya. Aku segera berangkat ke sana," ucap Zaviyar dari seberang telepon.
Sambungan telepon itu pun berakhir dan Arvin segera melajukan motornya menuju rumah sakit.
Tak berselang lama, Arvin tiba di rumah sakit yang dimaksud. Ia segera mencari informasi keberadaan Ranum. Saat menuju UGD, di situlah Arvin bertemu dengan orang yang tadi memberinya kabar dan juga yang menolong Ranum. Dari orang tersebut ia mengetahui apa yang terjadi dengan gadis bermata tajam itu.
Cukup lama Arvin menunggu, hingga akhirnya ia bisa menemui dokter yang menangani Ranum dan menanyakan kondisi gadis manis itu. Kekhawatirannya sedikit berkurang setelah mendengar langsung dari sang dokter. Meski sebelumnya ia benar-benar takut hal buruk terjadi pada Ranum yang sempat tak sadarkan diri beberapa waktu akibat luka di kepalanya.
Menjelang petang, Zaviyar tiba di rumah sakit tempat Ranum dirawat bersama Pak Qosim, Bu Dini, dan tentu Bu Ratih. Arvin yang sebelumnya belum pernah bertemu dengan mereka, hanya menerka-nerka dan kemudian menghampiri untuk memastikan bahwa merekalah keluarga Ranum.
Perkenalan singkat terjadi antara Arvin dan empat orang yang baru sampai di rumah sakit. Arvin pun kemudian menunjukkan di mana ruang rawat Ranum. Mereka berjalan menyusuri lorong rumah sakit sambil berbincang tentang keadaan Ranum.
“Sebenarnya bagaimana kejadiannya, Vin? Apa kamu tahu?” Zaviyar yang sedari tadi mendengarkan, angkat bicara.
Arvin kembali bercerita. Ia mengatakan apa yang sebelumnya dikatakan oleh saksi yang menolong Ranum dan membawa gadis manis itu ke rumah sakit.
“Kejadiannya begitu cepat. Menurut bapak yang tadi menghubungiku. Ranum keluar dari belokan di gang kosnya waktu ada penjambretan. Jambret yang mau kabur mengendarai motornya ugal-ugalan.”
“Lalu Ranum tertabrak motor penjambret itu?” sela Zaviyar.
“Keserempet. Tapi karena kecepatan motornya yang sudah gak terkendali, Ranum terpelanting cukup keras dan pas jatuh kepalanya mengenai batu. Itu yang aku dengar dari saksi tadi. Untungnya luka di kepalanya gak parah dan gak sampai pendarahan fatal."
“Bagaimana dengan jambret dan orang yang kena jambret?” Pak Qosim menyahut.
“Jambretnya berhasil kabur, Om dan perempuan yang kena jambret selamat. Dia tadi sempat ke sini dan meminta maaf, tapi saya suruh pulang tanpa menunggu kalian. Saya gak tega lihat wajahnya yang ketakutan. Sepertinya dia juga masih seorang mahasiswi.”
“Iya tidak apa-apa. Tidak usah memperpanjang masalah, yang penting tidak ada hal buruk yang terjadi pada Ranum. Terima kasih, Vin,” Ucap Zaviyar.
Mereka sampai di depan ruang rawat Ranum. satu per satu masuk dan melihat Ranum yang masih terlelap karena obat. Bu Ratih melangkah cepat melewati lainnya dan memegang tangan Ranum dengan air mata yang tak mampu lagi ia bendung.
Bu Dini yang melihat itu mendekati Bu Ratih yang sudah duduk di kursi sebelah ranjang tempat Ranum terbaring. Tangannya terulur memegang kedua pundak Bu Ratih, memberi kekuatan.
Selang beberapa menit, Arvin mengajak Zaviyar keluar untuk bicara empat mata. Arvin dan keluar dari ruangan diikuti Zaviyar menuju ruang tunggu yang sepi.
“Maaf, sudah merepotkanmu,” ujar Zaviyar.