Bagian 6

138 11 0
                                    

Astaghfirullohal ‘adziim.” Zaviyar memukul keningnya saat sadar pesan yang ia kirim tidak sampai pada tujuannya.

“Radit.”

“Ah… kena lagi besok.”

“Ah, sudahlah. Apa kata besok.”

Zaviyar tidak ambil pusing atas kesalahannya mengirim pesan tadi. Ia lalu mengetik kembali sebuah pesan dan mengirim pada orang yang memang ia tuju. Ponselnya bergetar, sejurus kemudian pesan kembali ia kirim, lalu bergetar lagi, mengirim lagi, terus berulang entah sampai berapa kali. Mungkin tak sedetikpun ia mengalihkan pandangan dari benda pipih di tangannya, meski posisi duduknya sudah berganti-ganti tapi ia tetap saja fokus pada ponsel di tangannya itu. Senyum terus terkembang di bibirnya, tanpa ia tahu kedua orang tuanya sedang memperhatikan dari pintu kamar.

“Lihat tuh, Yah. Anak ganteng kita satu-satunya udah kayak orang gila.” Bu Dini berkata.

“Namanya juga lagi kasmaran, Bunda kayak gak pernah muda aja.”

“Tapi baru kali ini Zaviyar terlihat benar-benar berbinar, Yah. Dulu, kalaupun dekat dengan seorang gadis kayaknya gak gitu-gitu amat. Bunda jadi penasaran sama gadis desa itu.”

“Emang Bunda yakin kalau Zaviyar kesemsem sama gadis desa?”

“Gimana gak yakin, wong Zaviyar kayak gitu sepulang dari desa tempat mahasiswanya KKN.”

“Tapi, bukan desa penari kan, Bun?”

“Ih, Ayah apa-apaan sih? Serem kalau itu mah.” Bu Dini dan Pak Qosim tertawa kecil.

“Udah ah, jangan berisik di sini. Nanti ketahuan kalau kita ngintip.”

“Iya, biarin aja kalau Zaviyar tahu. Sekalian Bunda interogasi deh tuh bujang lapuk.”

“Bunda mah kejam, anak sendiri dibilang bujang lapuk. Udah, ayo balik ke kamar lagi. Bunda emang ada-ada aja, udah mau istirahat juga masih ngajakin ngintip-ngintip.”

“Biarin, habis Zaviyar gak mau cerita sih. Bunda kan pingin tahu.”

“Iya, sabar dong, Bun. Nanti kalau sudah waktunya, Zaviyar pasti cerita. Dia udah dewasa juga. Biar dia mantepin dulu hatinya, gak usah buru-buru supaya gak menyesal di kemudian hari.”

Pak Qosim akhirnya mengajak Bu Dini kembali ke kamar dengan menautkan tangan Bu Dini ke lengannya. Meski usia tak lagi muda, tapi soal kemesraan, jangan ditanya. Pak Qosim dan Bu Dini tak segan melakukannya, karena menurut mereka itu adalah kunci rumah tangga agar tetap harmonis dan awet.
Zaviyar masih anteng di kamar dengan ponsel yang tetap di genggaman, hingga akhirnya dia mengakhiri chatnya begitu saja untuk sedikit menggoda Ranum. Ia pun berencana jika besok tak akan mengirimi chat dulu pada Ranum, dan sebenarnya ia pun ingin tahu bagaimana reaksi Ranum nantinya.

***

Keesokan harinya, Zaviyar bangun tepat setelah adzan subuh berkumandang. Ia bergegas masuk kamar mandi untuk membersihkan diri dan berwudhu’, lalu melaksanakan sholat subuh bersama kedua orang tuanya di musholla rumahnya. Meski rumahnya tidak terbilang rumah mewah, tapi rumah Zaviyar jelas lebih luas dibanding rumah Ranum di desa. Rumah bergaya minimalis dua lantai dengan 1 kamar utama, 1 kamar tamu di lantai satu, 2 kamar di lantai dua, kamar mandi luar, serta dapur, mushollah dan taman kecil di belakang rumah.

Selepas sholat subuh, Zaviyar maupun kedua orang tuanya melakukan aktivitasnya masing-masing. Bu Dini sudah siap bergelut di dapur, Pak Qosim yang memang pekerjaannya lebih santai masih menyempatkan diri untuk membuka dan membaca beberapa ayat Al-Qur’an. Zaviyar sendiri, langsung kembali ke kamar bersiap dengan materi kuliah yang kemudian berlanjut dengan merapikan diri untuk segera berangkat karena hari itu Zaviyar memiliki jadwal cukup padat.

...Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang