Matahari bersinar terik, panasnya menyengat kulit. Meski tergolong daerah pegunungan, tapi siang itu cahaya mentari mampu menembus sejuknya udara dingin di desa Ranum. Gadis itu mengendarai motornya, terlihat wanita separuh baya duduk di belakangnya. Ranum mengantar Sang Ibu ke tempat yang dituju, rumah salah satu saudaranya yang tak jauh dari sana dan hanya butuh waktu lima menit-an dari rumahnya dengan mengendarai sepeda motor.
Ranum melihat ponselnya, masih tidak ada kabar dari lelaki asal Kota Surabaya itu. Kembali Ranum berusaha menata hati agar tidak terlalu berharap. Saat Ibunya berbincang dengan saudaranya, ponsel di tangan Ranum bergetar. Ia segera melihat pesan siapa yang masuk. Dengan harap-harap cemas, gadis manis itu akhirnya tersenyum simpul saat nama Zaviyar tertera pada notifikasi di layar ponselnya.
Terlintas ide jahil di pikiran Ranum untuk menggoda Zaviyar. Ia pun membalas pesan Zaviyar dengan senyum kemenangan. Awalnya ada rasa kesal pada hati Ranum yang hingga siang ia menunggu tapi tak ada kabar. Namun, ketika kabar yang dinanti tiba, ia pun kembali berbunga. Gadis itu merasa senang bisa menggoda lelaki di seberang sana, yang kini mungkin hatinya sedikit kesal atas tindakan Ranum. Tapi, gadis berparas manis itu justru tersenyum puas membaca balasan-balasan pesan dari Zaviyar.
“Siapa suruh gak ngabarin? Emang enak nunggu seharian?” Ranum tersenyum puas membaca chatnya dengan Zaviyar.
Bu Ratih telah selesai dengan urusannya. Ia dan Ranum beranjak keluar dari rumah saudaranya. Ranum menaiki motornya yang kemudian diikuti Ibunya. Kunci motor ditancapkan, mesin motor dinyalakan, lalu gas pun ditarik perlahan membawa Ibu dan anak gadis itu pergi meninggalkan halaman rumah saudaranya.
Dari arah berlawanan, Ranum melihat sebuah mobil berwarna silver memberi tanda akan belok ke kiri untuk masuk gang rumahnya. Ia mengenal mobil itu dan siapa yang berada di balik kemudinya. Gadis itu tersenyum tipis, ia pun menyalakan lampu sein motornya sebelah kanan, kemudian berbelok tepat setelah mobil silver tadi memasuki gang.
Seorang lelaki yang duduk di belakang kemudi, menyadari siapa gadis yang tengah mengendarai motor di belakang mobilnya. Dahinya berkerut menatap pantulan kaca spion yang memperlihatkan wajah gadis dan seorang wanita paruh baya pengendara sepeda motor di belakangnya. Saat motor tersebut belok ke sebuah rumah, Zaviyar pun benar-benar yakin siapa gadis itu. Ranum. Ya, gadis itu Ranum yang sedang membonceng Ibunya.
Mobil Zaviyar memasuki halaman rumah Pak Tomo. Wajahnya masih tampak memikirkan sesuatu. Tentu saja tentang Ranum yang baru beberapa menit lalu mengatakan jika ia sedang ke rumah saudaranya, tapi baru saja ia melihatnya.
Di tengah pikirannya yang menerka-nerka, Zaviyar dikagetkan dengan getaran ponsel di saku kemejanya.
"Keluar jam 2 bisa?" Satu chat dari Ranum.
"Tentu."
"Okey. Aku tunggu Mas Zaviyar di depan gang. Naik mobil sendiri, ikuti aku. Kita bicara di tempat lain, pastinya di luar desa ini."
"Okey."
Zaviyar menyimpan ponselnya. Ia berjalan masuk ke dalam rumah Pak Tomo. Cepat-cepat ia bersihkan diri, berganti pakaian, dan sholat. Setelah semuanya selesai, Zaviyar melihat ponselnya, sudah hampir pukul 2 siang. Tak sempat ia melakukan makan siang, maka ia berinisiatif untuk meminta Ranum mencari tempat makan yang nyaman.
"Ra, kalau bisa cari tempat makan yang juga nyaman buat ngobrol ya. Sekalian nanti makan siang." Pesan Zaviyar pada Ranum.
"Siap."
Zaviyar bergegas keluar kamar dan pamit pada Pak Tomo dan beberapa mahasiswanya yang sudah pulang dari TBM dengan alasan ingin mencari makan di luar. Ia membuka pintu mobil, duduk di belakang kemudi, dan menyalakan mobilnya.