Bagian 16

116 10 1
                                    

Satu pagi yang terasa indah bagi dua insan yang tengah bergejolak karena rasa yang sedang bersemayam di hati mereka. Hari itu, menjadi awal dari perjalanan kisah mereka. Kisah yang mereka harap akan berujung bahagia.

Ranum kembali pada kesibukannya di sekolah, tanpa ia tahu ada sepasang mata yang sedari tadi memperhatikannya dari lantai dua gedung MTs yang berada di sebelah sekolahnya.

"Dari tadi kok mondar mandir terus? Gak capek apa?"

Ranum menghentikan langkahnya mendapati ponsel di saku seragamnya bergetar. Ia merogohnya dan matanya menyipit saat membaca pesan WhatsApp yang ia terima.

"Mas Zav di mana?"

"Di hatimu."

Blush ...

Pipi Ranum merona, bibirnya menahan senyum agar tidak terlihat orang lain.

"Ternyata pinter gombal juga."

"Mas Zav gak pulang?"

Mata Ranum mulai mencari keberadaan lelaki yang membuat jantungnya dag dig dug tak karuan.

"Masih mau ketemu calon mertua."

Kembali Ranum dibuat salah tingkah dengan pesan singkat yang dikirimkan Zaviyar. Sedangkan Zaviyar yang tengah berdiri di depan salah satu ruang kelas untuk melihat kegiatan mahasiswa bimbingannya. Sesekali menoleh ke arah Ranum dan tak mampu lagi menyembunyikan wajah bahagianya, hingga salah satu pengajar melihatnya.

"Pak Zaviyar?" Tegur Bu Cici dengan dahi berkerut melihat Zaviyar yang kadang senyum-senyum sendiri.

Panggilan Bu Cici sontak membuat Zaviyar kaget dan gugup.

"Iya, Bu. Maaf saya tidak menyadari kalau Bu Cici datang."

"Iya, Pak tidak apa-apa. Sepertinya ... saya tahu siapa yang sedang Pak Zaviyar perhatikan." Ucap Bu Cici seraya tersenyum.

"Bu Ranum." Suara Bu Cici cukup keras dan Ranum yang berada di bawah pun menoleh ke arah suara itu.

Zaviyar semakin gugup mendengar Bu Cici memanggil nama gadis yang sedari tadi membuat bibirnya tak henti menyunggingkan senyum.

Ranum yang sudah melihat Bu Cici dan Zaviyar di lantai dua, mengembalikan ponselnya ke dalam saku.

"Ada apa, Bu?" Tanya Ranum.

"Bu Ranum mau ke mana? Kalau gak ke mana-mana dan gak sibuk, sini aja temenin Pak Zaviyar." Goda Bu Cici.

"Bu Cici aja yang nemenin, saya sedang sibuk."

Bu Cici melongok dari pagar pembatas di lantai dua, melihat ke arah Ranum yang berada di bawah dengan satu tangan menempel di samping bibir.

"Gak takut saya embat, nih?" Bisik Bu Cici namun masih bisa di dengar oleh Zaviyar.

"Silahkan aja kalau berani. Paling nanti diseret sama bodyguardnya."

Bu Cici yang mendengar itu terkekeh. Zaviyar yang berdiri tak jauh dari Bu Cici hanya tersenyum berusaha menguasai kegugupan di depan rekan kerja Ranum itu. Sedangkan Ranum, tidak ada kecanggungan saat menanggapi semua ledekan teman kerjanya itu. Bagi gadis itu, bukanlah kali pertama  ia diledek dan digoda tentang hal  itu. Jadi, jika hanya guyonan semacam itu tidak akan mudah membuatnya gugup. Berbeda saat ia harus berhadapan langsung dengan Zaviyar dan hanya berdua atau mendapat pesan singkat dari Zaviyar yang terasa manis baginya.

Jam sekolah pun usai, Ranum yang sudah lelah setelah sholat dan makan siang langsung menuju kasur di kamarnya. Baru saja merebahkan tubuh, layar ponselnya menyala dan bergetar. Ranum menekan tombol telepon berwarna hijau. Suara lelaki yang tidak lagi asing di telinga. Ranum mengucapkan salam dan mulailah obrolan diantara keduanya.

...Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang