“Sepertinya aku salah. Sebaiknya selesaikan urusanmu dengan laki-laki itu,” kata Zaviyar tanpa menoleh pada Ranum di belakangnya.
Ucapan Zaviyar yang kemudian pergi meninggalkan rumahnya, membuat Ranum tergugu. Tak mungkin ia mengejar, yang hanya akan membuat keributan dan omongan tetangga semakin tak karuan.
Bahagialah secukupnya dan bersedihlah seperlunya, agar tidak kecewa berlebih. Mungkin ungkapan itu cukup pas untuk menggambarkan keadaan hati Ranum dan Zaviyar saat ini. Rasa bahagia yang terlanjur membumbung tinggi dan penuh dengan bayangan serta harapan indah di depan mata, kini seperti hancur begitu saja.
Bu Ratih mengajak Ranum yang masih memandang kepergian Zaviyar kembali masuk ke dalam rumah. Aldi masih berdiri di tempat yang sama menatap Ranum yang sudah berderai air mata.
“Num ….”
“Udah, Al sebaiknya kamu pulang sekarang. Aku mau sendiri.”
“Tapi, Num. Kamu sendiri dulu yang bilang bahwa kamu akan mempertimbangkanku jika kamu belum juga menikah di usia 25 tahun.”
“Aku ingat, Al. Tapi, maaf aku tak bermaksud memberimu harapan pada saat itu.”
Ranum menghela napas yang makin tak teratur karena emosi yang tertahan.
“Aku harap kamu mengerti apa jawabanku setelah kamu lihat kejadian barusan.”
Ranum terus berusaha menahan emosinya agar tak meledak dan hanya akan menambah masalah.
“Jujur aku gak pernah tahu kalau kamu menyukaiku lebih dari sahabat.”
Napas Ranum terdengar semakin berat menahan semua rasa yang berkecamuk dalam dada. Bahunya bergetar menahan tangis agar tak lagi pecah.
“Aku memang salah. Saat itu aku bicara tanpa berpikir panjang, karena aku percaya rasa sayang diantara kita hanya sebatas sahabat. Kalaupun lebih, itu sebagai saudara bukan lainnya.”
“Tapi, aku …”
Aldi berusaha menyela tapi Ranum kembali berucap sebelum Aldi menyelesaikan kalimatnya.
“Al, aku benar-benar minta maaf. Kamu sudah mengenalku sejak lama, dan kamu pasti tahu saat hatiku sudah memilih. Maka, sulit untuk mengganti atau menhapusnya begitu saja.”
“Tolong, biarkan aku sendiri." Kali ini kedua tangan Ranum di depan dada memohon pada Aldi.
Aldi diam dan menuruti permintaan Ranum. Ia pamit undur diri. Namun, entah rasa sayang atau keinginannya yang terlalu besar untuk memiliki Ranum hingga ia mengucapkan kata-kata yang membuat Ranum meradang.
“Jika laki-laki itu tak mau kembali padamu, maka ingatlah aku. Aku siap datang bersama keluargaku dan menjadikanmu wanita halalku,” ujar Aldi ketika sudah di depan pintu.
“Aldi!” Suara Ranum meninggi.
Tak disangka Aldi akan mengatakan sesuatu yang membuat hatinya semakin sakit. Kedua tangannya mengepal. Ranum menarik napas dalam-dalam mencoba menekan amarah dalam dada. Ranum berbalik dan menatap Aldi tajam.
“Kamu do’ain hubunganku dan Mas Zav benar-benar hancur, huh? Terima kasih, Al. Terima kasih atas tawaranmu, tapi aku yakin dengan hatiku dan juga hati Mas Zaviyar.”
Ranum menghela napas.“Sekalipun butuh waktu dan mungkin akan membuatku sakit, aku rela. Aku akan berusaha meyakinkan Mas Zav dan membuatnya kembali padaku, karena kuyakin hatinya memang untukku,” pungkas Ranum.
Ranum berlalu masuk ke kamar tak peduli dengan Aldi yang masih berdiri di depan pintu rumahnya.
***