Bagian Dua

9.9K 346 6
                                    


Rs Siloam, Jakarta.

Dengan beralas karpet, ruangan khusus saraf dan  jantung di Jakarta Barat tersebut tidak tampak seperti ruang tunggu dan konsultasi antara pasien dan dokter. Jejeran sofa empuk serta pernak pernik lain seperti peraga bola dunia raksasa menjadi penghias ruangan. Semkin didekati, di bola dunia itu banyak titik timbul beserta dengan tulisan tangan nama daerah. Ternyata tempat yang diberi titik tersebut merupakan jejak perjalanan dokter asal Bandung itu saat menjadi pembicara diberbagai benua, ya walaupun hanya sebagai asisten dari dokter panutan sekaligus guru yang 90% menghantarkannya menjadi dokter yang telah diakui oleh mancanegara berkat kepiawaiannya di meja operasi.

Semua pernak pernik itu kepunyaan Alan Arkana. Dokter bedah saraf di Rs tersebut. Bella tersenyum memandang tulisan nama terbungkus kaca diatas meja, dr Alan Arkana Sp.BS, yang entah apa kepanjangan dari gelar itu. Yang Bella tau dokter itu adalah dokter bedah saraf favoritnya, dokternya, dokter Alan-nya, miliknya. Itu sudah dipaten, oleh Bella sendiri tentunya. Bella kembali tersenyum malu-malu dengan pipi yang bersemu merah. Ah membayangkannya saja sudah membuat mood nya naik berkali-kali lipat.

Bella menoleh kearah pintu, lalu cemberut karna pintu itu tak kunjung terbuka. Padahal sudah lebih dari 30 menit ia berada disana. Kemana sih, jam segini belum balik-balik.

Sementara itu, yang ditunggu-tunggu malah baru keluar dari ruang operasi dengan masker yang masih menggantung dileher. Ia mengerakkan kepla kekanan dan kiri beberapa kali. Menarik nafas dalam-dalam lalu menghembuskannya perlahan. Pandangannya menelusuri koridor Rs yang sudah agak ramai dengan tatapan lelah. Delapan jam berdiri dimeja operasi itu rasanya seperti.. Kreteek. Terdengar bunyi seperti ranting patah saat tubuhnya digerakkan kekanan dengan kedua tangan dipinggang. Aduh nikmatnyaaa. Lalu mengulangi gerakan yang sama, kali ini ke arah yang berlawanan.

"Ini Latte buat kamu." kata suara tak begitu jauh didepannya.

"Makasih." si suster menyahut malu-malu.

"Shiff mlam ya?"

Suster itu mengangguk. Masih dengan malu-malu.

"Capek gak? "

"Lumayan."

"Habis ini lunch yok."

"Tapi kan bentar lagi dokter ada visit sama dokter Alan?"

Dokter itu mengibaskan tangan enteng."Gampang mah urusan itu, telat sejam dua jam juga gak apa apa."

"Beneran? Bukannya dokter Alan sama sekali gak suka kalau ada yg telat-telat gitu? Nanti dokter mlah kena marah."

Dokter itu mengibaskan tangan untuk yang kedua kali." Kalau sama saya dokter Alan udah jinak, pawangnya udah ada digenggaman saya." lnjutnya sambil mengepalkan tangan kuat-kuat.

"Oh ya? Boleh bagi resep soal jinak sama pawang-pawang itu?"

"Sini sini," Dokter itu menyuruh si suster mendekat. Suster menurut dengan semangat, saat hendak membuka mulut untuk membagikan resep yang sangat mujarab untuk membuat dokter sejenis predator mematikan saat sedang melatih anak magang disana, derhaman keras seketika membuat dua kepala itu menoleh secara bersamaan ke asal suara. Mati gue.

"Ngapain kamu? Pagi-pagi sudah modusin anak orang. Gosipin saya yang bukan-bukan lagi."

Dokter yang tak lain adalah Aksa yang statusnya sebagai dokter magang dibawah kendali Alan langsung berdiri tegak dengan kedua tangan dilipat dibelakang badan. Persia seperti posisi istirahat ditempat saat sedang upacara."Ekhem, selamat pagi dok."

Alan mengibaskan tangan seperti yang dilakukan Arkan tadi. "Gak usah basa basi." Alan berdiri didepan Arkan dengan siku menyender pada meja resepsionis."Apa kamu bilang tadi? Saya sudah jinak sama kamu? Pawangnya ada digenggaman tangan kamu? Kamu pikir saya uler?"

Dokter Ganteng Itu Milikku! (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang