Bagien Empat

6K 313 4
                                    


"Hey, assalamualaikum sayangnya mas."

Gadis dengan rambut hitan panjang itu menoleh ke asal suara. Matanya yang bening bulat menatap sosok yang sedang tersenyum lembut didepannya tajam. Dahinya berlipat. Mencoba mengenali pemilik suara yang mengucap salam barusan. 10 detik, 30 detik, 60 detik, 120 detik.

"Mas Alan?" Tanya suara itu mengeja nama Alan hati-hati. Takut salah.

Alan mengangguk. Mengelus rambut gadis berusia 13 tahun itu dengan sayang lalu memeluknya penuh rindu. " Iya ini mas Alan. Kyra apa kabar? Kangen banget sama adek mas yang satu ini." Diciumnya pipi itu dengan lembut.

Kyra mencibir. " Bohong."

"Kok bohong? Mas beneran kangen. Udah lama gak maen piano sama bobo bareng Kyra."

"Gimana kalau sekarang aja kita main pianonya?" Kyra menunjuk pada piano dipojok ruangan dengan semangat. " Kyra juga udah lama gak main piano, males, gak ada temen duet."

Alan mengacak-acak rambut Kyra sayang. Benarkah adiknya ini mengidap Skizofrenia? Gangguan yang menyebabkan penderitanya mengalami halusinasi, delusi, kekacauan berpikir dan, perubahan perilaku?. Dari segi fisik Kyra terlihat normal seperti gadis pada umumnya. Kulit putih, rambut panjang,  bibir tipis berwarna pink, hidung mancung, mata indah dengan bulu mata lentik, serta tahi lalat dibagian pipi sebelah kiri. Fisiknya baik-baik saja, bahkan terlihat sempurna. Tapi jiwanya… jiwanya yang tidak sehat. Kyra sakit setelah Bunda pergi meninggalkan mereka 4 tahun lalu. Kyra sakit setelah Ayah yang menjadi satu-satunya pengganti Bunda di usianya yang masih kecil membuangnya ke tempat ini. Kyranya yang malang.

" Oke. Kita main piano. Eh tapi ngomong-ngomong, Kyra ngapain duduk dijendela? Sudah hampir gelap, jendelanya mas tutup ya. Nanti banyak nyamuk masuk."

"Kyra lagi nungguin Bunda mas." Jawab Kyra beranjak dari jendela. "Emangnya mas Alan tadi gak ketemu Bunda diluar? Padahal baruuu aja Bunda pamit pergi, mau ke toko katanya, mau beli cemilan buat Kyra." Adiknya itu nyengir lebar.

Tangan Alan yang sedang menutup daun jendela terhenti. Matanya sudah mulai panas. Tubuhnya menegang.

"Mas?? Papasan sama Bunda gak tadi diluar?? Yee... Ditanya malah diem aja." Kyra menarik lengan Alan, memintanya untuk menghadap padanya.

Alan menutup jendela cepat lalu berbalik dan memasang wajah biasa saja.

" Mas ketemu Bunda gak tadi?" Ulang Kyra untuk kedua kalinya.

" Nggak, mas gak ketemu Bunda." Jawabnya dengan suara tercekat. " Kyra ngapain masih nungguin Bunda?"

Kyra berdecak sekali. " Ya kan tadi bilangnya cuma mau ke toko sebelah, tapi udah hampir 30 menit belum balik-balik juga, Kyra pengen makan coklat."

" Mas bawa coklat buat Kyra."

Mata Kyra membulat senang. " Beneran?".

Alan mengangguk. Lalu dibukanya ransel hitam miliknya dan mengeluarkan coklat dengan berbagai macam merk dari sana. Kyra kegirangan bukan main. Ia langsung duduk bersila diatas kasur, membuka bungkus coklat dan melahapnya dengan senang.

"Mas sudah bawakan Kyra coklat, jadi jangan tungguin Bunda lagi ya… Kalau masih kurang, mas suruh orang buat borong semua coklat di toko."

Kyra tertawa mendengar ucapan mas nya itu. " Tadi Kyra dimarahi Bunda mas." Kyra mulai bercerita. Alan menghela nafas. " Masa Bunda marah cuman gara-gara Kyra telat bangun? Kyra kan gak perlu bangun pagi buat sekolah, sekolah Kyra kan didalam rumah. Kata Bunda anak gadis bangunnya gak boleh siang, gak baik. Emang Kyra sekarang udah gadis mas ?" Lalu terkikik geli.

Aln hanya tersenyum sambil sesekali mengusap kepala Kyra.

" Terus Bunda juga tanya mas tadi, disuruh sering pulang kerumah Bandung, Bunda sama Ayah kangen katanya. Nanti deh kalau Bunda sudah datang mas ngobrol-ngobrol langsung sama Bunda." Celoteh Kyra lancar.

Halusinasi. Kyra masih sering berhalusinasi. Perawatan selama 4 tahun belum bisa sepenuhnya menyembuhkan Kyra. Meski kondisinya sekarang sudah tak separah dulu. Kyra yang sekarang sudah lebih bisa mengontrol emosi. Kyra yang sekarang tidak lagi berjalan seorang diri tanpa tau arah. Kyra yang sekarang tidak lagi berbicara sendiri. Alan masih ingat itu, saat dirinya bolak balik Jakarta Bandung hampir setiap hari. Demi mengurus Kyra juga demi gelar spesialisnya kala itu. Lalu dimana Ayahnya? Alan tersenyum masam mengingatnya.

" Ayo kita main piano." Alan menarik Kyra menuju piano. Mencoba mengalihkan kegiatan bercerita Bundanya yang tak kunjung selesai. " Mau main lagu apa?"

" Lagu kesukaan Kyra sama Bunda." Sahutnya mantap.

Alan menghela nafas lagi. Alan sengaja meletakkan piano dikamar Kyra, karena sejak kecil adiknya memng sangat tertarik dengan berbagai alat musik. Terutama piano. Alan juga sengaja mendekor kamar Kyra senyaman mungkin. Mengganti wallpaper dinding dengan warna pastel lembut. Seluruh lantainya pun dilapisi dengan karpet bulu halus berwarna pink. Alan bahkan membuat kamar Kyra menjadi kedap suara. Agar saat Kyra bermain piano tidak mengganggu penghuni panti rehab lainnya. Semuanya demi kenyamanan Kyra.

Jari Alan mulai menyentuh tuts piano. Begitupun dengan Kyra. Mereka berpandangan sejenak. Saling melempar senyum lebar lalu mulai bernyanyi bersama diiringi alunan piano.

When i was just a little girl

I asked my mother

What i will be

Will i be prettty

Will i be rich

Here's what se said to me

Quee sera, sera

Whatever will be will be

The future's not ours to see

Quee sera, sera

Whatever will be will be

***

Tolong tinggalkan jejak yaa😊

Dokter Ganteng Itu Milikku! (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang