Bagian Sembilan

5K 248 4
                                    


Alan sedang serius berbicara dengan Dokter Erwin mengenai kondisi pasien tumor otak yang tak sadarkan diri. Kedua dokter itu berdiskusi tentang tindakan apa yang akan diambil selanjutnya. Dibelakangnya, Arkan tampak memperhatikan kegiatan Alan dengan pipi mengembung dan bibir terkatup rapat. Menahan agar suara tawa tidak menyembur keluar. Hari ini ia sedang mengikuti Alan melakukan kunjungan rutin ke bangsal kanker dan tumor , sekalian belajar langsung dengan dokter favoritnya.

Masih lekat diingatannya saat dokter sarap itu dengan gagahnya mengatakan akan pergi ke Bali. Arkan kira, Alan benar-benar terbang ke Bali saat itu juga melihat kegusaran setelah foto-foto Louis beredar di IG. Tapi yang terjadi dokter itu malah berakhir di kantin rumah sakit dengan semangkuk bakso dihadapannya.

"Wah, ada acara apa nih, kok banyak makanan gini?" Dokter Debby yang masuk ke ruangan aAlan dibuat takjub dengan banyaknya makanan di meja. " Dokter Alan kemana Kan?"

"Ke Bali dok."

"Bali?" Dokter Debby mengulang kata Bali dengan wajah horor. " Tadi saya liat dia lagi makan bakso dikantin, saya kesini karena mau pinjam flashdisk dia, saya kira dia udah balik kesini. Ternyata belum."

Arkan langsung ngakak guling-guling saat itu juga. Jiah, gayamuu dooookk, sok mau nyamperin ke Bali sekarang juga. Dikira Jakarta Bali itu deket? 10 menit nyampek?

"Kamu ngapain ketawa gak ada suara gitu Kan?" Suara berat Alan membuat Arkan mengatupkan mulut seketika.

"Gak apa-apa dok."

"Coba ulangi apa yang saya katakan sama dokter Erwin barusan."

Wah si dokter sarap lagi dalam mode serius. " Eh, memang dokter ngomong apa mulai tadi? Gak kedengeran dok. Pasien ini sakit apa dok?"

"Kalau kamu gak niat belajar ngapain mulai tadi ngikutin saya?!" Semprot Alan. " Bukannya nyimak penjelasan saya malah main-main kamu."

Waduh. Marah. " M,maaf dok." Arkan menundukkan wajah dalam. Takut.

"Erwin, tolong kamu jelaskan kembali sama koas satu ini. Saya sakit kepala lama-lama ngadepin dia. Sudah otaknya lemot masih berani ambil spesiasil saraf. Gak habis pikir saya. Setelah itu suruh temui saya di ruang operasi."

Dokter Erwin mesem-mesem." Iya dok,"

Kok jadi bawa-bawa otak segala sih. Emmak, anakmu dikatain lemot sama dokter sarap.

"Makanya kalau dokter Alan lagi kunjungan kayak gini, kamu harus perhatikan baik-baik. Jangan cengengesan gak jelas." Dokter Erwin memperingatkan.

"Iya dok," Mata Arkan mengekor kepergian Alan. Salah makan kali tadi, makanya marah-marah gak jelas.

***

Arkan keluar dari ruang operasi dengan mata lelah. Didepannya, dokter Alan sudah membuka baju OK nya dan mencuci tangan di wastafel dengan sabun. Selama kurang lebih 8 jam ia berdiri di ruang operasi, menyaksikan secara langsung dokter Alan memimpin operasi bedah otak atau yang disebut dengan operasi Kraniotomi. Arkan benar-benar dibuat takjub oleh Alan selama operasi berlangsung. Dengan tangan nya itu, dokter Alan benar-benar membelah kepala manusi. Benar-benar kepala manusia. Bukan kepala sapi.

"Dok," Arkan ikut berdiri disamping Alan. Menggosok gosok tangannya dengan sabun. " Dokter keren banget tadi, saya baru sekarang ini mengikuti operasi Kraniotomi, kemarin hanya SRS." SRS itu operasi dengan cara radiasi. " Soal kejadian tadi, saya minta maaf dok. Maaf sudah tidak mendengarkan penjelasan dokter."

"Makanya, kamu belajar yang betul-betul. Jangan terlalu banyak main. Saya yakin kamu nanti akan jadi dokter hebat, asal belajar yang serius. Supaya cepat lulus. Perjalanan kamu masih panjang sebagai seorang dokter."

Arkan mengangguk. "Siap, laksanakan dok." Kemudian merekan berjalan beriringan melewati koridor yang sudah mulai sepi. Jam sudah menunjukan pukul 20.00.

"Dokter mau langsung pulang?"

"Iya, sudah lama tidak pulang ke apartemen. Kalau kamu mau diruangan saya, gak apa-apa. Pakai saja."

Alan langsung nyengir. Asiiiiik. Tidur enaaakk. Mereka berpisah di ujung koridor, Arkan turun kebawah, sedang Arkan berbelok menuju ruangan Alan. Saat melewati UGD suara riuh tangis dan bunyi derek  roda bangker bergesek dengan lantai rumah sakit bersahut sahutan. Alan menoleh sejenak sebelum kembali melanjutkan langkahnya. Ramai sekali. Tapi langkahnya terhenti saat seseorang menarik lengannya.

"Dok, dokter Alan maaf mengganggu. Saya tahu saya lancang, tapi saya tidak tahu lagi harus memanggil siapa, sebagian dokter sedang diruang operasi, kita kekurangan tenaga medis disini dok. Ada rujukan dari rumah sakit sebelah, korban pusat perbelanjaan yang ambruk."

Alan menghela nafas berat. Suster didepannya metapnya memohon. Yah, apa boleh buat, memang beginilah tugasnya sebagai dokter. Ia pun melangkah menuju UGD lalu sibuk mengobati pasien yang terluka akibat reruntuhan gedung. Setelah hampir 4 jam menangani pasien yang entah berapa jumlahnya, Alan duduk menyandar dikursi. Dirinya benar-benar lelah. UGD sudah tak seramai tadi, pasien yang hanya luka ringan sudah dibolehkan untuk pulang, sementara yang butuh perawatan intensif sudah dipindahkan keruang rawat inap.

Seorang suster memberikan Alan sebotol air mineral seraya mengucapkan terimakasih atas buntuannya tadi. Alan tersenyum jemawa. Baru sepuluh menit ruangan itu senyap, suara ambulans memekakkan telinga. Tak lama datang petugas medis mendorong banker dari dalam ambulans menuju UGD. Emang gak ada matinya ini UGD. Korban kecelakaan lalu lintas. Dua orang laki-laki dan satu anak kecil. Alan segera bangkit untuk memeriksa kondisi pasien. Hanya patah tulang dibeberapa bagian dan sobekan disekitar dahi dan pelipis. Alan memberi instruksi pada suster untuk segera membersihkan luka dan menjahitnya lalu memasangkan gips pada daerah tulang yang patah. Alan berpindah pada anak kecil yang menangis, mungkin kesakitan karena luka robek ditangannya. Saat hendak membersihkan luka anak kecil itu, tirai sebelah tersibak. Menampilkan sebingkai wajah pucat dengan mata terpejam rapat. Hidungnya terpasang selang oksigen. Dada Alan ngilu seketika. Perutnya terasa mules. Matanya tidak mungkin salah. Dia wanita itu.

Alan meminta suster untuk menggantikan tugasnya membersihkan luka anak kecil tadi. Ia menghampiri ranjang dengan wanita yang tak sadarkan diri itu. Dia Louis. Wanita yang beberapa hari ini membuatnya baper. Yang katanya sedang berlibur di Bali.

Di saat ia sudah benar ikhlas ingin melupakan dan tidak mau tahu tentang apapun soal wanita itu, dia malah muncul dihadapannya dalam keadaan terbujur kaku tak sadarkan diri. Takdir gila macam apa ini. Sejak kapan dia disini? Kenapa dirinya tidak tahu?
Dan dia sendirian tanpa ada seorangpun yang menunggui? Shit.

" Dia ini kenapa??!!" Teriakan Alan memenuhi UGD malam itu.

***

Dokter Ganteng Itu Milikku! (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang