Bagian tujuh belas

4.7K 231 2
                                    


Rindu itu normal. Karena rindu itu adalah perpaduan antara ambisi dan ketidak mampuan diri pada kenyataan. Rindu adalah perjuangan yang sudah selesai tapi masih riuh terngiang. Rindu itu juga yang sudah membuat Alan memeluk tubuh Louis selama hampir 30 menit tanpa berniat melepaskannya sedetikpun. Sedang yang dipeluk bergerak tidak betah dalam kungkungan lengan kekar itu. Separuh badannya kram karena terus-terusan berada pada posisi miring menghadap pada Alan. Iya, LDR itu telah selesai sejak satu jam yang lalu. Setelah hampir berpisah selama satu bulan akhirnya Alan kembali ke kota tempat dimana belahan jiwanya berada.

"Dok, aku gerah nih, ini sudah dulu acara peluk-pelukannya,"

"Hmmm,"

"Lepas dulu, aku gerah, keringetan, badan kram semua,"

"Kamu gak kangen ya sama aku?"tanya Alan sedih.

Louis berdecak."Bukan gak kangen, posisi seperti ini gak enak, badan aku kram,"Louis mencoba untuk bangun. Bagaimana tidak kram, mereka sedang tiduran sambil berpelukan di sofa bed ruang praktek Alan di rumah sakit."Memang dokter gak punya rumah ya? Perasaan cuma ini satu-satunya tempat serbaguna yang dokter pakai,"Louis memberi penekanan pada kata "serbaguna".

Alan tertawa. Ia melepaskan pelukannya lalu ikut duduk disebelah Louis."Kok aku merasa seperti ada yang aneh sama kamu."

"Apa?"

Alan mencubit pipi Louis gemas."Kamu jadi tambah cereweeeeet,"

"Itu berarti kemajuan. Dulu aku orangnya irit bicara."

Alan mengangguk membenarkan."Kamu tadi nanyak soal rumah, sudah siap memang untuk jadi nyonya dirumah aku?"

Wajah Louis blush. Ah, Alan yang seperti ini yang selalu Louis rindu sejak sebulan yang lalu."Ini apa?dodol ya?" Louis mengalihkan pertanyaan Alan tadi dengan bertanya makanan lunak mirip dodol garut di meja. Oleh-oleh Alan dari Lombok.

"Memang itu dodol, dodol rumput laut, coba deh makan, enak loh. Ini juga baik untuk pencernaan karena mengandung banyak serat,"jelas Alan. Membuka satu bungkus dodol dan memakannya. Louis pun ikut menggigit separuh dodol ditangannya.

"Enak. Kok masih sempat beli oleh-oleh?"

"Waktu perjalanan ke bandara sempat berhenti dipusat oleh-oleh."

"Beli oleh-olehnya cuma makanan doang?"

"Maunya?"

Louis yang mengerti pertanyaan menggoda itu kontan menggeleng."Nggak mau apa-apa,"cari aman saja, kalau Louis tanggapi pasti jawabannya kemana-mana.

"Aku punya hadiah yang lebih keren selain oleh-oleh dari pulau Lombok."

Louis menaikkan sebelah alisnya. Menunggu Alan melanjutkan kalimatnya.

"Niat tulus aku untuk melamar dan halalin kamu sesegera mungkin."

Louis langsung menimpuk muka Alan dengan bantal sofa.

"Aku serius, kok malah di pukul pakai bantal, aduh, sudah, sudah,"kata Alan diantara derai tawanya."Aku serius sayang, ayuk kita menikah."

Louis menghela nafas melihat wajah serius Alan."Sebelum itu, cerita dulu tentang kamu,"pintanya, merebahkan kepala dipangkuan Alan.

"Cerita tentang aku yang mana?"

"Tentang Adhitama, juga tentang ayah kamu, Dewa Adhitama."

Nama yang Louis sebutkan mampu merubah ekspresi wajah Alan seketika. Badannya menegang. Rahangnya mengeras. Bibirnya tertutup rapat. Di bola matanya seperti ada amarah juga kekecewaan.

Dokter Ganteng Itu Milikku! (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang