Bagian dua puluh lima

7.4K 239 3
                                    


Sunyi mencekam. Jarum jam berputar seperti melambat. Tetap diangka itu-itu saja. Melewati satu angka bagai menunggu seribu tahun. Tidak digubris resah yang menggelayut sejak lampu indikator menyala diruang operasi. Pertanda tindakan bedah berlangsung sejak berjam-jam lalu.

Om Hardin duduk dikursi depan ruang operasi dengan lengan memeluk pundak tante Wanda. Isak tangis sesekali masih terdengar dari mulut istrinya itu. Tidak ada yang bisa dilakukan selain menunggu dengan pasrah dan terus berdoa. Didalam, anak dan ponakannya sedang meregang nyawa. Berjuang kedua kalinya untuk melewati masa kritis.

Ada beribu tanya dibenak yang belum terjawab. Ada apa dengan putrinya? Ada apa dengan Louis? Kenapa mereka bisa berakhir ditempat ini dengan kondisi mengenaskan?

Menurut keterangan dari pihak berwajib dan saksi disekitar lokasi kejadian, Bella menerobos lampu merah dan menabrak mobil yang ditumpangi Louis dan Alan. Kapan mereka keluar? Bukankah tadi mereka semua masih berkumpul saat jamuan makan sedang berlangsung? Ada apa sebenarnya?

Om Hardin menoleh saat suara langkah kaki mendekat. Alan duduk dikursi paling ujung. Lengan kanannya di gips. Ada perban dibagian kepala. Dan beberapa luka disekitar wajah.

"Ma, sebentar," Om Hardin menepuk lembut pundak tante Wanda. Memintanya untuk menyender pada bagian belakang kursi. Karena ia harus menghampiri seseorang. Tante Wanda mengekori om Hardin yang beringsut mendekati Alan dengan kening sedikit berkerut.

Alan masih menunduk, menekuri petak-petak keramik berwarna putih dibawah kakinya saat om Hardin duduk disebelah dan memanggil namanya. Sungguh, ia sedang tidak ingin bicara sekarang. Tenaganya sudah terkuras habis sejak kecelakaan tadi. Belum lagi fakta tentang kondisi wanitanya yang lagi-lagi harus berakhir dimeja ruang operasi.

"Alan, om ingin bertanya sesuatu."om Hardin memulai percakapan."Karena kamu juga menjadi salah satu korban sekaligus saksi dalam kecelakaan ini, om tidak bisa menunggu lebih lama lagi. Om ingin tahu kejadian yang sebenarnya."lanjutnya nyaris berbisik.

Alan menghela nafas. Baiklah, tidak baik mengabaikan dan membuat orang menunggu. Apalagi itu orang tua."Om,"pandangan Alan masih terpaku pada lantai."Dengan tidak mengurangi rasa hormat saya terhadap om, saya akan mengatakan semuanya. Jadi, tolong dengarkan saya saja om, jangan bertanya atau menyela perkataan saya sampai saya selesai."

Om Hardin langsung mengangguk dan meminta Alan untuk memulai.

"Saya dan Louis sudah berpacaran sekitar tujuh bulan yang lalu. Selama itu juga, Louis menutupi hubungan kita dari Bella."

Dahi om Hardin berlipat, begitu juga dengan tante Wanda yang sayup-sayup mendengar obrolan antara keduanya.
"…Karena Louis tidak mau menyakiti Bella dengan fakta yang jelas akan membuat Bella patah hat."Alan menjeda sebentar. Ia tidak tahu bagaimana reaksi om Hardin saat mendengar pengakuannya. Bodo amat. Bukan itu fokusnya sekarang, mau dimarahi atau dipukul sekalipun karena telah membuat anak kesayangannya terluka, Alan sudah tidak perduli lagi. Malah bagus, akhirnya ia bisa mengungkap kenyataan yang selama ini bagaikan momok dalam perjalanan cintanya bersama Louis.

"Kita semua tahu, sepandai tupai melompat, sepandai kita menyimpan bangkai, suatu saat nanti pasti akan ketahuan, terbongkar, tercium bau busuknya. Kebohongan yang ditutup rapat, pada akhirnya akan membawa malapetaka."Alan meremas jemarinya. Kejadian tabrakan mobil tadi memenuhi keplanya." Meskipun niat itu baik, tidak ingin menyakiti siapapun, tapi kalau caranya salah. Tetap saja pada akhirnya akan salah. Ini akhir dari niat baik Louis yang tidak ingin melihat Bella sakit. Lihat, mereka berdua malah berakhir diruang operasi. Bella yang menabrakkan diri pada kami,"Alan menoleh. Menatap tepat pada manik mata om Hardin dengan kilatan amarah."Bella yang ingin mengakhiri hidupnya sendiri dan hidup kami berdua dengan cara luar biasa,"Alan menyeringai di akhir kalimatnya.

Dokter Ganteng Itu Milikku! (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang