Mentari pagi masih belum menyingsing di ufuk timur. Langit masih sedikit gelap berwarna kemerahan saat Louis sampai di lobi rumah sakit diikuti Bobby dibelakngnya dengan koper ditangan. Seperti dugaannya, suasana rumah sakit subuh itu masih sangat lengang dan sepi. Ia memang sengaja berangkat subuh ke rumah sakit, menghindari keramaian serta lalu lalang orang dengan infus di tangan. Pemandangan yang sangat tidak nyaman untuk dilihat. Meski infus itu nanti juga akan ada ditangannya."Setelah ini kamu bisa langsung pulang, saya mau istirahat dikamar. Kamu sudah pesan kmar untuk saya kan Bobb?"
Bobby mengangguk."Sudah non, sesuai permintaan non, VVIP. Nanti biar saya jemput Bi Rum untuk menemani non disini."
"Tidak usah."Tolaknya cepat."Jangan merepotkan siapa-siapa Bobb, saya bisa sendiri. Disini, saya akan ditangani langsung oleh dokter, jadi gak usah bawa orang rumah kesini. Saya bisa sendiri."Papar Louis panjang lebar.
"Tapi non-…"Bobby ingin menyela kalimat Louis tapi tak jadi saat Louis menarik tangannya dengan cepat untuk bersembungi dibalik pilar besar."Non, ada apa?!"
"Ssst, diam."Louis meletakkan jari dibibir. Menyuruh Bobby untuk tidak bersuara lagi. Seperti maling yang sedang mencuri dirumah orang, Louis menggeser badannya kedepan. Mengintip dari balik pilar dengan tatapan tajam. Ia perlu memastikan penglihatannya. Bahwa obyek yang ditangkap oleh matanya tidak salah."Kenapa tante Wanda bisa ada disini?"Louis bertanya diikuti kepala menoleh sempurna ke arah Bobby.
Bobby tidak menjawab. Ikut mengintip seperti yang dilakukan Louis."Saya tidak tahu non kenapa ibu Wanda bisa ada disini."
Louis berpikir sejenak. Apa jangan-jangan Bella yang dirawat disini? Tapi kenapa dirinya tidak tahu?"Kamu tolong cari info soal tante Wanda, cari sedetail-detailnya. Saya gak mau tiba-tiba papasan disini sama tante Wanda."Perintahnya pada Bobby. Bobby mengangguk patuh.
Setelah memastikan bahwa tante wanda tidak terlihat lagi dan keadaan benar aman Louis kembali melangkahkan kakinya. Kali ini sedikit berlari. Bobby yang mengikutinya hanya bisa geleng-geleng kepala.
Memangnya kenapa kalau keluarga lainnya tahu tentang penyakitnya?Bukannya itu bagus, majikannya itu akan mendapatkan perhatian dan kasih sayang lebih dari orang-orang disekitarnya.Tapi yang dilakukan Louis mlah sebaliknya. Horang kaya memang suka aneh-aneh.
***
Sendiri bukan masalah, sunyi adalah teman, dan sakit adalah damai yang coba untuk Louis rengkuh sekarang. Ia duduk di bibir kasur rumah sakit dengan pandangan kosong. Tubuhnya luar biasa lemas tak bertenaga, dadanya terasa sakit dan sesak oleh sesuatu. Bukan, bukan karena efek dari kemoterapi yang sudah selesai dua jam lalu. Sesak itu lebih kepada sesuatu yang sama sekali tak bisa Louis jelaskan. Rasanya seperti ingin menangis tapi tidak bisa, ingin mengumpat tapi pada siapa dan untuk apa, ingin marah tapi tidak tahu harus marah karena apa. Louis menghela nafas frustasi, menyerah pada rasa-rasa itu. Sekarang, ia hanya ingin ke kamar mandi. Ia ingin pipis, tapi tubuhnya susah untuk digerakkan, inipun ia bisa duduk karena kedua tangannya mencengkram kuat-kuat tepi kasur kalau tidak mungkin ia sudah roboh. Sungguh luar biasa efek kemoterapi, ini baru sehari, masih tinggal beberapa hari lagi. Haruskah ia memanggil suster? Hape Louis berbunyi, nama Nandira tertulis disana. Pasti mau kepo. Louis abaikan panggilan itu. Sepertinya ia harus pakai pempers saja nanti.
Tepat saat itu pintu kamar terbuka. Louis menoleh. Seseorang yang tidak diharapkan kehadirannya karena betapa jelek dan berantakannya ia sekarang malah muncul begitu saja.
"Kenapa malah duduk? Harusnya kamu berbaring saja dulu."Suara Alan yang selembut kapas menimbulkan sedikit degupan aneh didada Louis."Mau minum sesuatu?Mau makan sesuatu?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Dokter Ganteng Itu Milikku! (End)
Roman d'amour" Aku dokter, aku yang akan merawatmu. Kamu harus sembuh. Apapun yang terjadi, aku akan membuatmu sembuh." ~Alan Arkana Sp.BS~ " Justru karena kamu dokternya, makanya aku tidak ingin sembuh." ~Louis Aurestella Mahendra~ Follow dulu yess sebelum memb...