Ini yang selalu Elara tunggu, disaat kedua orang tuanya pulang dari bekerja tanpa henti dan selalu berpergian berminggu-minggu bahkan berbulan-bulan. Mereka terlalu ambisius tentang hal pekerja. Elara sangat merindukan mereka, mereka yang selalu ada dipikirkan Elara. Bukan hanya kebahagiaan yang terpancar di wajah Elara, ada kesedihan saat orang tuanya datang. Saat ingin melepas rasa rindu yang sangat menusuk, kedua orang tuanya hanya berlalu seperti angin. Bahkan untuk menanyakan kabar Elara pun mereka enggan. Seperti ada banyak pisau yang menusuk hatinya secara perlahan. Menyakitkan.
"Mama mau minum apa biar Elara buatin?" tanya Elara kepada Renata mama Elara yang sedang memeriksa berkas-berkas pekerjaan di ruang kerja yang berada di rumah.
"Mama gak haus, Jangan ganggu mama Elara!" meskipun tidak dengan nada tinggi, kata-kata barusan sukses membuat ulu hati Elara tersayat. Elara bahkan tidak berniat mengganggu.
Selalu saja pekerjaan. Hidup kedua orang tua Elara tidak jauh-jauh tentang pekerjaan dan tidak ada hal lain bahkan Elara sekali pun.
"Kenapa mukanya kusut gitu? Senyum dong!" suara Adam membuat Elara yang melamun kembali tersadar. Elara menunjukan senyum manisnya.
"Nah gitu dong, kan tambah cantik" Adam mengusap pucuk kepala Elara sayang.
"Mama dimana?"
"Ada di dalem." Elara menunjuk ruang kerja Renata yang tertutup rapat.
Adam masuk ke dalam, tidak seperti Elara yang ditolak mentah-mentah. Adam masuk dengan sangat diizinkan, pintu terbuka lebar untuknya. Elara dapat mendengar Renata begitu antusias saat bertemu Adam. Bahkan Elara dapat melihat dari celah pintu yang sedikit terbuka, Renata memeluk Adam sangat erat, begitu menghangatkan.
Di kamar Elara terus terjaga , jam sudah menunjukan pukul 12 malam tapi Elara belum juga terlelap. Entah apa yang ada dipikirannya.
Elara mencoba menutup matanya berharap kantuk akan segera datang dan membuatnya terlelap.
Adam masuk ke dalam kamar dan menghampiri Elara. Elara yang kesadarannya hampir hilang karena terlelap merasakan kepalanya dicium dan diusap perlahan.
"Maafin sikap mama, Ra."
"Jangan benci mama, karena sikapnya yang gak adil sama kamu."
"Semua salah abang, Abang jahat, Ra udah ngerebut semua kasih sayang mama."
Mengingat ucapan Adam semalam membuat kepala Elara hampir pecah karena terus memikirkan maksud kata-kata Adam yang penuh teka-teki.
Ini benar-benar sulit untuk dipecahkan bahkan lebih sulit dari rumus matematika.
Untuk tidak memikirkannya saja sangat sulit. Hanya itu yang membuatnya beberapa kali ditegur oleh guru yang mengajar karena terus melamun saat jam pelajaran. Elara bisa gila memikirkan perkataan itu.
Memikiran itu membuatnya enggan bergerak dari tempat duduknya, walaupun sedang jam istirahat sekalipun. Saat tengah melamun memikirkan kembali kata-kata Adam, Elara merasa tempat duduk di samping ditarik ke belakang lalu seseorang duduk di sampingnya.
Dari bau maskulin yang masuk ke indra penciuman Elara, Elara merasa tidak asing, Elara menengok ke samping. Yap Angkasa tengah duduk dengan memainkan gelang tangan, ralat sepertinya ia tengah membuat gelang tangan.
Sangat lama Elara menatap Angkasa yang entah muncul dari mana.
"Jangan lama-lama liatin gue, nanti lo suka!" Angkasa tahu Elara sedang menatapnya, ya walaupun bukan tatapan suka. Angkasa terlalu berharap m
KAMU SEDANG MEMBACA
SPACELARA [On Going]
Fiksi RemajaGanteng, suka senyum, jailnya minta ampun sampai kelakuannya yang absurd tingkat dewa. Paket komplit. Siapa lagi kalau bukan Angkasa. Si ketua geng yang kocak nan konyol. Bercita-cita ingin merasakan cinta pertamanya. Bertemu Elara si cewek jutek me...