"Sang burung terkurung dalam sangkar, bergerak gelisah ingin membebaskan dirinya. Lalu tangan pucat itu mendekat, membuka kaitan pintu kecil sangkar itu dan sang burung akhirnya terlepas. Kesedihannya dan semua kenangan itu lalu menyerangnya."
***
"Bagaimana?"Sejeong baru saja memasukkan sesuap nasi sampai tiba-tiba Ten bertanya. Ia paham apa yang sedang ditanyakan rekan kerjanya ini tapi memilih untuk pura-pura tidak tahu. "Apanya?"
"Ayah dan ibumu? Mereka setuju denganmu dan Johnny?"
"Kenapa kau penasaran sekali, sih?"
"Apa aku tidak boleh tahu?"
"Tidak."
Ten berdecak, kemudian memilih menyantap makanannya juga. Sama dengan Sejeong yang juga sedang menyuapkan sesendok nasi dengan telur gulung ke mulutnya. Wajahnya semakin tidak bersahabat saat kedua lelaki di hadapannya itu menatap ke arahnya dengan penasaran. Ah, ditambah lagi satu orang gadis yang lebih muda darinya itu juga menatapnya penuh tanda tanya.
Sejeong akhirnya menghela napas, berusaha menelan makanannya sebelum akhirnya berbicara. "Belum sepenuhnya."
"Apa perlu aku membantumu?" Sejeong memberikan tatapan membunuh ke arah Doyoung. Apa lelaki itu bodoh atau polos?! Jelas-jelas dia tahu alasan ayah dan ibunya tidak setuju tapi justru masih menawarkan diri?
Laki-laki itu tahu kalau orang tua Sejeong tidak setuju karena masih berharap perempuan itu bisa bersamanya.
"Hei, Doyoung!" Sejeong menunjuk wajah Doyoung dengan sumpitnya sambil memberengut kesal. "Kau itu bos, kenapa kau begitu santai dengan makan siang disini?!"
"Karena aku bos, aku bisa lakukan apapun." Kemudian ia berdecak. "Lagi pula, jabatan hanya sekedar jabatan. Bagaimana pun aku tetap manusia."
Rasanya Sejeong ingin mengumpat jika saja tidak ada Jisun diantara mereka. Jisun sendiri hanya bisa tertawa pelan menanggapi pertengkaran tidak penting diantara Sejeong dan Doyoung.
Hari ini Jisun datang, mengantar makan siang untuk Doyoung. Tapi kemudian kekasihnya itu memintanya ikut makan siang bersama dua temannya yang lain. Baru ini ia bisa bertemu Ten yang juga dikenalinya dulu, sama-sama lulusan universitas di Melbourne.
"Kalian memang tidak pernah akur, ya?"
Sejeong menyahut. "Akur tidak ada dalam kamusku kalau itu berurusan dengan Doyoung."
"Benar, Sejeong itu tidak suka jika aku hidup damai."
"Kau punya cermin? Berkacalah bodoh! Kau yang tidak suka kalau aku hidup damai!"
Lelaki itu tertawa, menunjuk Sejeong sambil memberikan ekspresi menyebalkan. "Lihat? Dia yang tidak berkaca. Kim Sejeong? Aku tidak perlu cermin karena aku sadar kalau aku ini tampan."
KAMU SEDANG MEMBACA
[1] 20봄 | TWENTY SPRING✔
Fanfiction[Completed] Kehadiran seseorang tak selamanya membuat mereka akan selalu di samping kita. Terkadang seseorang hadir hanya sekadar sebagai bagian dari pembelajaran dalam kisah hidup masing-masing. Seperti musim semi di mana setiap mekarnya daun dan b...