Prolog

26.9K 993 19
                                    

Cerita ini diikutsertakan dalam challenge menulis 100 Hari yang diselenggarakan oleh AMB_publisher

-------------------------------------------------

Matahari telah terbit sepenuhnya. Pagi di desa yang tenang itu telah datang. Orang juga telah memulai aktivitasnya. Bahkan beberapa rumah telah sepi ditinggal penghuninya bekerja di sawah selepas subuh. Sinar matahari yang hangat menelusup di antara daun pepohonan. Mencoba menghalau kabut yang setiap pagi bersaing menyelimuti desa itu. Sehingga tak ayal hawa dingin masih terasa.

Jalanan yang belum sepenuhnya di-paving becek akibat guyuran hujan semalam. Tapi tidak menghentikan orang untuk berlalu lalang di sana. Seperti halnya pak Husein yang mendorong gerobak sayurnya sambil memanggil para ibu yang hendak berbelanja. Dia dengan gigih berjalan mengangkut dagangannya dari pasar yang jaraknya 2 km dari sini. Namun tidak pernah lupa memperlihatkan senyumnya ketika melihat para pembelinya mulai datang merubung.

"Ada sayur bayam?"

"Pak cabe merah dan kecilnya masing-masing 2000 ya. Ayamnya seperempat, sama daun bawang satu ikat"

Bergantian para ibu-ibu mengajukan daftar belanjanya. Dengan sabar pak Husein melayani permintaan mereka.

"Pesanan saya kemarin ada pak?"

Tanya seorang wanita muda yang sudah ikut bergabung merubung gerobak pak Husein.

"Iya non, ada. Tunggu sebentar"

Pak Husein mencari sesuatu dari bagian bawah gerobaknya. Biasanya dia menyimpan barang pesanan di sana.

Sementara itu, si wanita muda mengalihkan perhatian ibu-ibu di sana. Mereka melirik ke arah wanita itu yang langsung tersenyum saat menyadari dirinya ditatap.

Sedikit aneh dan kurang pas dengan pemandangan orang desa. Begitulah yang dipikir para ibu-ibu ini saat melihatnya. Dia memang memakai daster seperti ibu lainnya. Sandalnya, sandal jepit. Rambutnya yang tidak terlalu panjang cukup dikuncir. Bahkan kelihatan sekali dia tidak memakai riasan apapun, walau cuma bedak.

Wanita itu hanya terlalu cantik. Bulu matanya panjang dan lentik. Matanya bulat dengan netra hitam yang pekat. Hidungnya mancung. Bibirnya tipis dengan warna pink alami. Kulitnya juga putih bersih. Terlihat sangat terawat. Tepatnya seperti biasa dirawat di salon. Meski masih pagi pun, aroma segar sampo-nya memabukkan para ibu-ibu ini.

"Siapa dia?"

Tanya salah satu Marni, setelah wanita muda yang membuatnya terpesona itu pergi.

"Wah..Mbak nggak tahu? Dia warga baru di sini. Yang tinggal di rumah gedhe itu lho"

Ranum yang selalu update berita di desa ini menjawab. Jelas paling tahu, suaminya adalah Pak RT di sini.

"Oh..pantesan, wong ayu banget. Aku pikir ada artis kesasar kesini"

"Tapi aku dengar dia itu pelakor mbak"

Timpal Indah, ibu yang paling muda. Dia paling suka membumbui gosip.

"Pelakor gimana?"

"Dia itu istri kedua. Nikah sama orang kaya yang sudah punya istri. Gara-gara istri pertama belum punya anak juga. Terus dia dikasih rumah di sini, biar gak tarung sama istrinya yang pertama"

"Masa' sih? Sayang banget, cantik-cantik kok jadi perusak rumah tangga orang"

"Makanya hati-hati. Jangan lihat orang dari penampilannya. Gitu-gitu pinter kalau merayu"

Selir (Tamat) | Segera TerbitTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang