Perjanjian

11.7K 766 16
                                    

"Permintaan macam apa itu mas?!"

Tanya Arimbi marah. Tidak biasanya dia menggunakan nada tinggi berbicara pada suaminya. Matanya sudah berkaca-kaca, tidak kuat menyembunyikan emosinya.

Rama hanya diam. Dia bisa memahami perasaan Arimbi. Wanita mana yang suka dimadu. Apalagi kalau itu permintaan dari mertuanya. Rama segera memeluk Arimbi, berusaha menenangkan istrinya itu.

"Aku sudah menolak. Tapi papa bilang mau menikahi wanita itu sendiri kalau aku tidak mau"

Rama dengan hati-hati memberi penjelasan pada Arimbi. Bahwa yang mengganggunya bukan permintaan papanya untuk menikah lagi. Rama tentu tidak goyah, dia akan setia pada Arimbi. Tetapi masalahnya, papanya yang sudah kepala enam berencana membawa mama tiri yang jauh lebih muda dari Rama.

Itu membuat Rama mempertanyakan alasan wanita itu bersedia hadir di antara keluarganya. Kalau masih muda, terpelajar namun mau saja dijadikan istri kedua atau menikah dengan orang tua, Rama curiga hanya karena harta. Papanya memang lumayan kaya. Hartanya tidak akan habis dimakan tiga turunan.

Arimbi sedikit lebih tenang mendengar penjelasan Rama.

"Lalu tindakan apa yang akan Mas Rama lakukan?"

Tanya Arimbi sambil menghapus sisa air matanya.

******
Yudha tersenyum menyambut kedatangan anak dan menantunya. Wajahnya sangat sumringah, berbanding terbalik dengan ekspresi muram tamunya. Segera mempersilahkan mereka masuk begitu tangannya dicium saat bersalaman.

Rama dan Arimbi kaget. Bukan cuma mereka tamu papanya. Ada beberapa kerabat dekat juga sudah berkumpul. Bahkan om dan tante Arimbi juga di sana. Seolah hari itu Yudha sudah merencanakan pertemuan ini.

Ekspresi para tamu lain juga kecut. Sama seperti Rama dan Arimbi.

"Lusa kita berangkat ke Jakarta untuk melamar"

Itu kata-kata pertama yang diucapkan Yudha begitu Rama dan Arimbi duduk. Sontak membuat suasana makin tegang.

"Pa..."

Desah Rama kesal. Dia melirik ke arah Arimbi dan semua orang di ruangan itu. Ekspresi mereka masam dan bimbang. Rama sendiri juga merasa papanya keterlaluan.

"Apa perlu kami juga hadir?"

Namun justru pertanyaan itu datang dari Om Sultan, yang notabene adalah keluarga Arimbi. Seakan ada di pihak Yudha.

"Om..."

Rama sudah tidak tahan dan hendak meluruskan tetapi dipotong oleh Yudha.

"Cah ayu, bisa ikut papa?"

Arimbi yang dipanggil. Sontak Arimbi yang sedari tadi hanya menunduk, akhirnya mengangkat wajahnya. Dia menatap lekat wajah mertuanya yang sedang tersenyum teduh dan menganggukkan kepala. Mereka berdua akhirnya pindah ke ruang makan.

Rama menatap punggung istrinya dengan hati kesal. Dia ingin ikut agar bisa mendengarkan semua yang akan papanya katakan pada Arimbi. Ditahannya kuat-kuat keinginan itu. Sebaliknya, melampiaskan emosinya pada Sultan.

"Om setuju dengan ide gila papa?!"

Tanya Rama dengan nada tinggi. Rahangnya sudah mengeras, membayangkan betapa kejamnya Sultan yang sudah seperti orang tua bagi Arimbi.

Sultan hanya tersenyum tipis menerima amarah Rama. Menatap cangkir teh di tangannya yang sudah tinggal separuh. Seolah ada hal menarik di sana.

"Aku juga ndak setuju dengan semua ini. Mas Yudha itu sudah kelewatan. Seperti anak kecil saja. Grasa grusu (terburu-buru)"

Selir (Tamat) | Segera TerbitTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang