AKu Rindu Ayah (5)

625 21 5
                                    


Ngurah Rai padat seperti biasanya. Biasanya aku begitu bersemangat jika datang kemari, tetapi tidak kali ini. Perasaanku masih campur aduk, antara marah, rindu dan bahagia. Mataku terus mengamati layar tv untuk memantau jadwal kedatangan pesawat. Pesawat yang ditumpangi Tee seharusnya sudah mendarat 10 menit lalu. Dalam kondisi seperti ini 10 menit terasa begitu menyiksa. Sambil menunggu aku terus memikirkan hal apa yang akan aku lakukan pertama kataku pada li bertemu dengannya. Biasanya aku akan memeluknya, tapi kali ini dia pantas mendapat perlakuan lain. Mungkin aku akan memakinya atau menamparnya sekalian. Aku ragu, kalau Tee sudah sadar akan konsekuensi atas keputusannya. Hidupnya selalu beruntung, sehingga dia ada kecenderungan menyepelekan masalah.

Setelah sekian lama menunggu, akhirnya pesawat Tee mendarat, mataku kini tertuju pada pintu keluar. Orang-orang mendekat membawa papan penjemputan, aku memilih tetap duduk menunggu. Para penumpang mulai keluar dari bandara. Kebanyakan dari mereka adalah turis asing, sehingga kejauhan aku sudah bisa mengenali Tee.

Tee akhirnya tiba, dia mengenakan kaus v-neck warna biru muda, dipadu dengan chinos warna hitam. Tee suka sekali tampil casual, walau begitu dia tetap terlihat smart dan elegan. Tee yang sudah melihatku, berlari menghampiriku. Tepat di hadapanku dia membuka tangan lebar-lebar berharap mendapat pelukan dariku. Sejujurnya, aku sangat ingin memeluknya. Aku bahagia melihatnya, aku bahagia bahwa dia berani memperjuangkan cinta kami, aku bahagia tapi juga takut. Takut apa yang sedang kami perjuangkan akan berakhir dengan tragis. Aku ingin memeluknya lalu menangis sejadi-jadinya. Tapi aku berusaha menahan perasaanku. Aku ingin marah padanya, aku mau dia memahamiku.

Aku berdiri diam, memandangnya. Tee tampak kecewa lalu menurunkan tanganya. Aku terus mengamatinya dan merasakan seauatu yang aneh. Tee hanya membawa ransel. "Kopermu mana?", tanyaku padanya. "Aku kabur dari rumah sayang. Apa kamu lupa?", jawabnya santai. "Tahu gitu bawa motor," kataku sambil menyerahkan kunci. "Kau yang setir, ke kantor dulu aja balikin mobil. Habis itu pulang bawa motor."

Sepanjang perjalan aku terus diam, meski Tee berusaha mengajakku bicara. Sampai di rumah Tee disambut ramah oleh Ibu. Ibu selalu senang jika Tee datang. . Tee sangat supel, sehingga dia mudah akrab dengan siapapun, termasuk dengan Ibu. Begitu tiba Tee langsung membantu Ibu menyiapkan makan siang. Aku biarkan mereka berdua asik sendiri, sementara aku menyelesaikan pekerjaanku yang tertunda. Beliau mengenal Tee sebagai sahabat baikku. Entah apa yang akan terjadi jika beliau tahu hubungan kami yang sesungguhnya

Setelah makanan siap, mereka memanggilku. Melihat Tee dan Ibu terkadang aku merasa cemburu. "Tommy, coba Cakra itu diajarin biar jadi aga macho dikit, biar gagah kayak kamu," kata Ibu pada Tee, " biar ada cewe yang deket. Dari dulu sendiri terus." Tee tertawa menanggapinya. "Ga papa seperti itu Bu, yang penting Cakra bahagia," katanya membelaku.

"Kalau kakaknya Cakra masih single, saya ambil jadi mantu kamu Tom," kata ibu lagi. Tak biasanya ibu bercanda seperti ini. Aku rasa candaannya sama sekali tak lucu. Mataku melirik Tee tajam. "Ga usah halu, bentar lagi mau nikah dia," kataku pada Ibu lalu meninggalkan meja makan. "Kenapa anak itu?" kata Ibu keheran. "Cakra...!!!" pekik Ibu memanggilku. Ia hendak menyusulku tetapi Tee mencegahnya. Tee kemudian yang menyusulku ke kamar.

"Bee kamu kenapa?"

"Menurutmu? Kamu sadar ga sih apa yang sedang kita hadapi."

"Sadar, karena itu aku disini."

"Tee kamu terlalu gegabah ambil keputusan. Sekarang apa rencanamu. Lihat kamu datang kesini cuma bawa satu ransel kecil. Padahal kamu bilang kamu mau tinggal di Bali."

"Apa masalahnya? Kalau cuma baju dan barang-barang keperluan lain kan aku bisa beli disini."

"Masalahnya, itu artinya kamu datang tanpa persiapan dan hanya sekedar mengikuti emosimu. Apa kamu bawa ijasahmu buat cari kerja? Egak kan?"

"Ga sempet. Malam itu aku berantem sama orang tua, mama larang aku keluar rumah, jadi aku langsung cabut ke kos Joan."

"Itu ransel Joankan"

"Iya, soal ijasah kamu ga usah khawatir, aku punya semua scan dokumen-dokumen penting di Google drive. Jadi semua aman."

"Ga semudah itu Tee..."

"Apalagi sayang... Aku lakuin ini semua demi kita."

"Kita atau kamu? Tee apa kamu pikir cuma kamu yang punya orang tua? Kamu sadar ga ibu bilang apa tadi? Aku juga dah ga muda Tee, sebentar lagi aku juga bakal menghadapi masalah seperti kamu. Seharusnya sebelum kamu membuat keputusan kamu tanya aku dulu, apa aku siap. Menurutmu jika ibu tahu siapa kamu apa yang akan terjadi?"

"Dia bakal seneng, kamu ga denger tadi dia bilang pengen jadiin aku mantu, cuma karena kakakmu dah nikah jadi ga bisa. Ga sama kakaknya ya sama adiknya tho."

"Tai, ga lucu...!"

"Trus aku mesti gimana?" tanyanya.

Aku diam tak menjawab. Mataku mulai berair. Tee mendekatiku dan memelukku. Aku balas memeluknya lalu menangis di dadanya. Tangannya mengusap kepalaku dengan penuh kasih.

"Jika kita takut membuat keputusan, kita akan kehilangan kesempatan. Aku sudah memutuskan untuk berjuang. Kalau kau mau mundur aku hargai keputusanmu."

Kisah Sunyi Dunia PelangiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang