Aku Rindu Ayah (8)

435 19 0
                                    

Selesai memasak aku kembali ke kamar untuk membangunkan Tee. Perasaanku masih kacau, entah apa yang akas di katakan ibu pada kami. Aku mengecup bibir Tee, perlahan dia membuka matanya. "Bangun Snow White," kataku padanya. "Selamat pagi Cinderlella," kata Tee membalas ciumanku. "Sarapan sayang."

"Ini sarapanku," kata Tee kembali menciumku. "Nanti lagi," kataku melepaskan ciuamannya.

"Sayang habis nangis." Aku menggeleng, dan segera keluar. Dengan sigap Tee meraih tanganku. "Bee," serunya, "ada apa lagi?" "Sarapan dulu sayang."

Tee mengikuti ke ruang makan. Kami berdua memandang hasil karyaku , bentuknya tidak terlalu buruk, semoga rasanya termaafkan. "Aku yang buat," kataku pada Tee.

"Yakin?"

"Dibantu ibu sih."

Tee duduk, dan mencoba masakanku. "Not bad," katanya, "untuk pemula boleh lah." Kami menyantap nasi goreng itu bersama. Aku tak tahu bagaimana rasanya, semua terasa hambar bagiku. Tapi sepertinya Tee menyukainya.Usai makan ibu datang menghampiri kami. Perasaanku semakin tak enak. Kuraih tangan kanan Tee di bawah meja dan meremasnya karena takut. Tee mengusap tanganku dengan tangan kirinya agar aku tenang. Kemudian Tee melepaskan genggamanku dan meletakan tangannya terbuka di atas meja. Tee menegakan posisi duduknya dan tersenyum ada ibu.

Ibu duduk di hadapan kami. Beliau membawa sebuah koper usang berwarna coklat. Diletakannya koper itu diatas meja. Ibu memandang kami secara bergantian.

"Cakra, sebelum ayahmu meninggal dia meninggalkan koper ini untukmu. Ibu tidak tahu kodenya. Ayah berpesan untuk memberikan ini padamu jika kamu mau menikah. Tetapi sepertinya Ibu tidak akan melihat kamu menikah. Jadi koper ini Ibu serahkan sekarang saja."

Aku menerima koper yang diberikan ibu, koper itu sudah tampak usang dan penuh debu. Koper itu dikunci mengunakan kode 4 digit angka. Aku memandang Ibu berharap dia memberi sebuah petunjuk untuk membukanya. "Koper itu milikmu, sudah Ibu bilang, Ibu tidak tahu."

Aku mencoba memasukan angka secara acak, tetapi tidak berhasil. "Jangan asal," kata Tee, "coba kamu pikirkan dulu, apa ayahmu pernah berpesan sesuatu padamu."

"Ayah meninggal saat aku kecil, bagaimana aku ingat?"

Kami bertiga diam menatap koper itu. Satu-satunya petunjuk yang kupunya koper ini adalah milikku. Jadi jika aku memiliki koper, yang bisa dibuka dengan kode angka, angka itu pasti sangat berarti bagiku. Baiklah mari kita coba. Perlahan aku mengerakan jari-jariku untuk memasukan kode angka yang aku pikirkan. Tee dan Ibu mengamatiku dengan saksama.

"0" tanganku berpindah memutar digit kedua "1". Aku berhenti untuk memandang Tee dan Ibu. "0"

Sekarang aku sampai pada angka terakhir "2". "0102" Aku rasa ayah mengunakan tanggal lahirku untuk mengunci koper itu. Sekarang saatnya untuk mengetahui kebenarannya. Kini kuarahkan jariku ke knop untuk membuka koper ersebut. "Klik" koper itu langsung terbuka.

Koper itu berisi beberapa dokumen, buku dan juga foto-foto kuno. Pertama yang kuliat adalah sebuah kartu keluarga lama. Di sana tertera nama kakekku dari ayah. Cakraningrat. Aku baru tahu kalau kakek bernama cakraningrat. Selain KK ada banyak foto ayah bersama keluarganya. Ada pula beberapa buku kuno yang memuat sisilah kerajaan. Dari situ aku tahu bahwa cakraningrat gelar kebangsawanan penguasa salah satu karesideand i era Sultan Agung.

Ibu tertsenyum memandangku. "Apa kamu mengerti anakku?"

Aku mengganggukan kepala. "Sekarang jawab pertanyaan ibu dengan sejujur-jujurnya. Sebenarnya hubungan kalian itu seperti apa?" Aku dan Tee saling pandang. Tak satupun dari kami mampu menjawab pertanyaan ibu.

"Cakra, ibu sudah mengenalmu selama 24 tahun. Ibu sudah menyadari bahwa kamu itu berbeda. Jangan dikira ibu tidak pernah memperhatikan caramu melihat laki-laki. Ibu sudah sadar itu sejak kamu SMP. Semua semakin jelas ketika Ibu mengenal Tommy. Meski Ibu sudah tahu, ibu merasa tetap perlu mendengar dari kalian sendiri." Kami berdua kembali saling pandang. Aku tak sanggup bicara. Lidahku terasa kaku. Aku ingin sekali menangis tetapi air mataku terasa kering. Ibu menatap kami lembut. Aku bisa merasakan pancaran kasih yang begitu tulus darinya. "Tom....." Katanya lembut pada Tee. Tee seperti ingin mengatakan sesuatu tapi seolah lidahnya tertahan. Kemudian dia mengandeng tanganku dan meletakan di depan ibu. Aku ingin melepasnya tetapi genggamannya begitu kuat. Dia memandangku tajam dan memintaku tenang. "Kami saling mencintai Bu," kata Tee tenang.

"Ibu senang kamu berani mengakuinya."

"Cakra, ada darah bangsawan yang mengalir dalam tubuhmu. Meski kamu menolak mengunakan nama Raden Mas di depan namamu, kamu tidak bisa menyangkal darah kasatria yang diberikan ayahmu. Ibu percaya bahwa semua ini bukan sesuatu yang kamu ingini, ibu juga begitu. Tapi inilah yang terjadi. Bersikaplah seperti kasatria. Perjuangkan sungguh-sungguh apa yang kamu yakini. Banggalah dengan dirimu apa adanya. Karena selalu ada cinta ibu bersamamu."

Air mataku menetes, hatiku benar-benar hancur. Tee kembali mengusap tanganku agar aku tenang. "Jangan menangis sayang, ingat bahwa kamu adalah kasatria."

"Tommy, apa kamu sungguh mencintai Cakra anakku"

Tommy menggakukan kepalanya seraya berkata, "Iya, saya mencintainya."

"Apa yang sedang terjadi di Jakarta?"

"Saya sedang ada masalah dengan orang tua, mereka tidak bisa menerima saya sebagai gay."

"Ibu tidak melarang hubungan kalian, tetapi ibu tidak rela jika kamu menjadikan Cakra tempat pelarian. Ibu minta kamu pukang ke Jakarta dan selesaikan masalah dengan orang tuamu. Meski ini bukan kesalahanmu, dan bukan keinginanmu, Ibu mau kamu meminta maaf pada mereka. Pada akhirnya jika mereka tetap tidak menerimamu, itu tidak jadi soal. Kamu selalu diterima disini. Satu pesan Ibu, jaga Cakra baik-baik. Jika kamu mencintainya kamu takkan menyakiti Cakra." Setelah berkata demikian ibu kemudian berdiri dan meletakkan kedua tangannya diatas kepalamu dan mencium keningku. Ibu melakukan hal yang sama pada Tee. "Kamu pun juga anak ibu," katanya kemudian. Ibu memegang tangan kami berdua dan berkata, "Jika kalian sungguh saling mencintai, jaga cinta itu baik-baik, sekuat apapun badai menghantam jangan biarkan kapal kalian karam." Setelah itu Ibu meninggalkan kami berdua. Aku menyandarkan kepalaku pada bahu Tee. Air mataku terus mengalir membasahi tubuhTee. Tangan kami masih saling berpegangan. AKu begitu terharu dengan kebesaran hati Ibu. "It gets better," kata Tee mencium tanganku.

Kisah Sunyi Dunia PelangiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang