Alise (4)

759 26 5
                                    

Setelah kencan palsu bersama Nesya, aku melanjutkan kencan yang sebenarnya bersama Dimas. Kami pergi ke tempat favorit kami, Bukit Bintang. Bukit Bintang hanyalah sebuah area di pinggir jalan Raya Wonosari. Letaknya tepat diperbatasan antara Bantul dan Gunung Kidul. Di tempat ini kita bisa melihat suasana malam Jogjakarta dari ketinggian. Inilah yang membuat tempat ini istimewa dan ramai dikunjungi banyak orang. Lampu-lampu kota terlihat seperti bintang-bintang di langit.

"Gimana tadi?" kata Dimas membuka pembicaraan.

"Sukses, Nesya jago acting ternyata. "

"Terus kenapa kamu masih kelihatan sedih?"

"Ya, karena sukses. Aku sih ngarepnya mama ga suka sama Nesya. "

"Masalanya apa sayang?"

"Ekspetasi mereka menjadi tinggi. Padahal semua ini cuma kebohongan."

" Kamu mikir terlalu jauh. Ini hidupmu sayang. Nikmati... Jangan jadi orang lain yang tidak mampu."

"Ga segampang itu. Enak banget ngomongnya, jalaninya susah."

"Apa kamu pikir aku ga punya orang tua? Apa menurutmu mereka ga pernah nanya soal perempuan?"

"Iya sayang, tapi kan situasinya beda."

"Beda. Aku anak pertama laki-laki, ayah orang Medan tau artinya kan? Kami punya aturan yang ketat soal marga dan jangan lupa, aku tumbuh dalam lingkungan militer."

Dimas meninggikan suaranya. Sepertinya aku telah membuatnya marah. Aku diam tak berani menatapnya.

"Menurutmu mengapa aku bisa sampai menjadi SPB di amplas?"

Aku tak mampu menjawab pertanyaan Dimas. Jika dipkir-pikir Dimas berasal dari keluarga yang mampu. Mustahil jika orang tuanya tak mapu membiayai kuliah.

"Semua orang punya masalah sayang. Termasuk aku. Bedanya aku berani membuat keputusan dan berani menghadapinya."

"Sayang kenapa ga kuliah aja?"

"Suatu saat aku akan cerita, bukan sekarang."

"Sekarang aja."

"Buat apa sih. Ga terlalu urgent kan kamu tahu sekarang."

Aku tak lagi bertanya. Aku takut membuatnya marah jika memaksanya. Meski hanya menduga-duga aku yakin jika Dimas tak akur dengan ayahnya.

Dimas mengusap kepalaku, mencoba untuk menghiburku. Jangan sedih lagi. Begitu katanya. Segera aku mnyingkirkan tangannya dan melihat sekitar. Aku suka laki-laki romantis, tetapi romantic yang pada tempatnya. Aku tak suka mengumbar kemesraan di public area. Hidup sudah terlalu banyak masalah jadi sebaiknya tak perlulah melakukan hal bodoh yang berpotensi menimbulkan kesulitan.

Dimas tak suka tingkahku. Mukanya langsung cemberut. "Hidupmu penuh dengan ketakutan. Kasihan ga bisa bebas berekspresi."

"Aku bukan tipikal Orang yang suka mencari masalah."

"Masalah apa. Peduli amat apa kata orang."

Dimas kembali meninggikan suaranya. Aku rasa ada yang tak beres dengannya. Aku ingin bertanya tetapi taku membuatnya marah.

"Menurutmu kenapa orang bisa menjadi gay?"

Aku menggelengkan kepala padanya. Dimas tersenyum padaku, wajahnya terlihat begitu manis dan menawan. "Apa kamu memilih menjadi gay?" tanyanya lagi. Aku kembali menggeleng. "Apa kamu bahagia menjadi gay? " Pertanyaan yang Dimas ajukan semakin terdengar aneh. Kali ni akutidak merespon sama sekali. Lagi-lagi dia tersenyum. Apa aku bahagia? Hidupku menjadi begitu rumit karena menjadi gay. Bagaimana aku bisa bahagia?

"Apa kamu bahagia?" aku membalikan pertayaan pada Dimas. Dia pun tak menjawab. Dimas hanya tersenyum padaku. Sebuah senyuman yang multitafsir.

Kisah Sunyi Dunia PelangiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang