Aku Rindu Ayah (1)

1.9K 49 18
                                    


Matahari perlahan mulai mengundurkan diri, diiringi pipit-pipit kecil yang kembali ke sarang. Aku duduk berselonjor di selasar Mushola. Mataku memandang angkasa yang memerah malu. Orang-orang mulai berdatangan memenui mushola untuk menjawab pangilan suci-Nya. Aku tetap diam menatap angkasa.

Usai Sholat seorang bapak berusia 70an datang menemuiku. Dia mengenakan baju koko putih yang sudah mulai usang, dipadu dengan sarung berwarna hijau dan peci hitam di kepala. Meski tua, bapak itu masih tampak gagah, matanya menunjukan ketenangan dan keteduhan, keriput wajahnya mengambarkan kebijaksanaan. Gigi-giginya masih utuh, meski mulai menguning. Bisa dipastikan bapak ini merupakan perokok berat.

"Boten sholat cah bagus?", katanya padaku. Bau nikotin begitu kuat keluar dari nafasnya. " Tidak pak, saya Non Muslim. Maaf numpang istirahat sebentar, saya baru sampai di Tegal," jawabku berbahasa Indonesia. Aku kurang pandai berbahasa Jawa, kalau sekedar ngoko aku masih bisa, tetapi tentu saja tidak sopan berbicara ngoko dengan orang tua.

Bapak itu menatapku tajam, aku sedikit risih dengan tingkahnya. Aku rasa bapak ini marah karena aku istirahat di selasar mushola, atau mungkin aku telah melanggar aturan mereka. "Maaf Pak, jika saya tadi menggagu orang-orang sholat. Saya tidak ada maksud, jika ada aturan yang saya langgar saya juga mohon maaf, saya tidak tahu," kataku sedikit memohon.

"Tidak apa-apa, le," katanya sedikit kaku. Dia mengeluarkan buntalan plstik dari katong bajunya. Matanya terus mengamatiku dengan seksama, sambil tangannya membuka buntalan plastik yang ternyata berisi tembakau. Aku sedikit mulai waspada terhadapnya, tingkahnya semakin aneh bagiku. Dengan mata tetap memandangku, tangannya dengan lihai melinting sebatang rokok. Disodorkannya rokok padaku, aku menggeleng untuk menolaknya. Segera dia menyalakan rokok itu, lalu menghisapnya dalam-dalam. Dihembuskannya asap ke arah samping agar tak mengenaiku. Meski begitu, baunya tetap terlalu menyengat bagiku. Aku sangat anti bau rokok. Wajahnya kini sedikit tersenyum, mungkin dia senang melihat aku tersiksa asap rokoknya.

"Saya Dalijan, orang-orang memanggil saya Mbah Dal, saya kuncen di sini," katanya menyodorkan tangan padaku. Aku menyambut tangannya sambil tersenyum. "Saya Cakra Pak," kataku, "kebetulan saya bertemu Bapak, jadi saya bisa minta tolong."

"Panggil Mbah saja, cucu saya sudah 5. Ada perlu apa Mas Cakra datang kemari?"

"Begini Mbah, saya jurnalis dari Bali, saya mendapat tugas menulis untuk rubrik sejarah, jadi saya datang kemari untuk meliput tempat ini. Apa bisa saya wawancara Mbah Dal, untuk menceritakan sejarah tempat ini?"

Mbah Dal tak langsung menjawab pertanyaanku, senyumnya kian melebar, dan tatapannya semakin tajam. Aku benar-benar merasakan sesuatu yang ganjil darinya. "Mengapa Mas Cakra memilih Tegal, memilih makam Amangkurat I? Ada banyak raja-raja Mataram yang lebih terkenal, komplek Makam di Imogiri lebih menarik?" tanyanya padaku.

Aku tak menyangka dia akan mengajukan pertanyaan itu. Tak ada alasan khusus mengapa aku memilih Amangkurat I. Aku hanya ingin mengakat cerita yang berbeda, kebetulan aku ada di Brebes, kebetulan aku dapat info dari google. Semua hanya serba kebetulan. Tak ada alasan khusus. Aku yang ingin wawancara, sekarang justru aku yang diwawancara.

"Kebetulan saya sedang ada di Brebes untuk acara keluarga, saya dapat info tempat ini dari internet, karena dekat, dan mumpung di Jawa jadi saya sempatkan mampir. Saya ingin mengangkat sesuatu yang berbeda," kataku apa adanya.

Mbah Dal hanya diam, mendengar jawabanku. Dia terus menikmati rokoknya dengan mata sedikit terpenam. "Kulo tasih dereng mantep," katanya mengguman. (Saya belum yakin) "Maksudnya bagaimana Mbah?", kataku, "apa Mbah bisa bantu saya?" Mbah Dal mengatungkan tangannya, "Sabar le," katanya kemudian. Matanya masih terpejam mulut bergerak kecil seperti orang berbisik, tetapi tak sedikitpun suara keluar dari mulutnya. Sesekali dia menghisap rokoknya. Aku menjadi semakin takut, dan curiga jangan-jangan yang dia hisap lebih dari sekedar rokok.

Matanya kembali terbuka, wajahnya tampak sedikit takut. "Tidak ada sesuatupun yang kebetulan, semua ada maksud dan tujuannya. Memang sudah takdirnya Mas Cakra datang ke sini. Semua sudah tertulis. Maktub," katanya mantap. Dia menghisap kembali rokoknya dalam-dalam, lalu menghembuskannya dan melempar putung rokok itu begitu saja.

"Mari masuk dulu," katanya lagi sambil berdiri. Akupun mengikutinya berdiri. Mbah Dal memimpinku berjalan menuju makam. Begitu memasuki gerbang aku merasakan aura yang begitu mistis. Sebagai orang Bali, aku sudah sangat familiar dengan aura-aura tempat suci, tetapi aura di tempat ini sungguh berbeda. Kami berjalan menuju sebuah rumah kecil berbentuk kotak itu terbuat dari kayu bercat kuning dan beratap joglo. Rumah kecil itu dikeliling pagar batu yang berbentuk mirip dengan kuil-kuil Hindu di Bali, sebuah arsitektur khas Mataram Kuno. Bersama kami menaiki tangga menuju rumah itu. Mbah dal kemudian berjongkok didepan pintu lalu mempersilahkan aku masuk terlebih dahulu. Aku memasuki rumah itu sambil berjongkok. Aura mistis yang kurasakan semakin kuat. tempat itu terasa begitu hening. Di dalamnya terdapat sebuah pusara putih dikelilingi kelampu putih. Mbah Dal memintaku duduk di depan pusara tersebut. Ini makam Amangkurat 1, silahkan Mas berdoa sebisanya mas, sesuai keyakinan mas," katanya padaku kemudian mundur beberapa langkah lalu bersila dibelakangku.

Aku sedikit bingung harus mulai dari mana. Karena pada dasarnya aku datang untuk reportase bukan untuk berziarah. Sementara itu Mbah Dal mulai mendaraskan doa dalam Bahasa Arab. Suara terdengar sendu, dan bergetar menahan tangis. Situasi ini menjadi semakin menakutkan. Aura mistis semakin kuat, tak hanya membuatku merindung, tetapi juga merasa aku diselubungi sesuatu yang hangat. Aku hanya bisa diam membisu menatap pusara itu.

Setelah cukup lama, Mbah Dal berhenti berdoa. Aku masih tetap diam. Seperti ada sesuatu yang mencengkramku sehingga aku sulit bergerak. "Sudah selesai Mas?", kata Mbah Dal padaku. Perlahan aku menoleh ke arahnya dan menngganguk. Mukaku tampak seperti orang bodoh. Mbah Dal tersenyum padaku, kulihat matanya masih basah.

"Menawi wonten lepat, Simbah nyuwun pangapuro ngih," katanya berbahasa jawa halus. "Bahasa Indonesia saja Mbah, saya kurang fasih Bahasa Jawa," jawabku.

"Maafkan Simbah tadi sempat ragu, tapi memang benar ini kamu," katanya. Mukaku semakin terlihat seperti orang bodoh. Mbah Dal tersenyum lebar, seolah dia begitu bahagia melihat kebingungan. "Tidak ada sesuatu yang kebetulan. Semua terjadi karena memang digariskan demikian oleh Yang Kuasa. Maktub. Semua sudah tertulis," katanya lagi. Mataku memandang sekitar, tak ada siapapun disana kecuali kami. Situasi yang aneh ini mebuatku menjadi takut. Aku meningkatkan kewaspadaanku untuk mengangisipasi hal-hal tak terduga.

"Panjenengan masih trah dari raja Amangkurat I, dari ayah," ujar Mbah Dal. Aku terbatuk mendengarnya. Hal itu merupakan hal terbodoh yang pernah aku dengar. Susah payah aku menahan tawa. Benakku terus berpikir apa yang sedang direncanakan orang tua ini. Aku kini memandangnya penuh curiga. Mbah dal tertawa melihatku. "Tidak perlu seperti itu, saya bukan orang jahat dan tidak ada niat jahat."

Sebelum kegilaan ini semakin berlanjut aku memutuskan untuk pamit. Aku pikir ada baiknya aku mencari tempat lain untuk reportase. "Sudah malam, mbah, saya mau pamit dulu," kataku sambil melirik alroji. "Apa bisa bantu saya cari ojeg Mbah?"

"Mas tidur dimana? Kalau mau, Mas bisa nginap di rumah simbah."

"Terimakasih tapi saya pulang saja . Saya sudah sewa losmen di dekat terminal, ada yang harus saya kerjakan malam ini, laptop saya ada di losmen.."

" Kalau begitu mampir sebentar saja untuk ngopi."

"Ada artikel yang harus saya kirim sebelum jam 10. Besok saya kesini lagi."

"Ya sudah, biar kamu diantar anak Simbah yang ragil, kalau mau besok pagi biar besok dijemput kesini."

Meski tak ada niat kembali, aku menggaguksaja. Kami berdua keluar dari makam. Mbah Dal berteriak memanggil anaknya. Rupanya rumah Mbah Dal tak jauh dari sana. Setelah itu aku diantar pulang oleh anak Mbah Dal.

Kisah Sunyi Dunia PelangiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang