Aku Rindu Ayah (3)

901 32 7
                                    


Tepat pukul 8 pagi, anak Mbah Dal menjemputku di losmen. Sebenarnya aku sudah tak berminat melakukan reportase di sana. Tetapi karena deadline sudah mepet aku tak punya banyak pilihan. Sampai di sana aku tak langsung diantar ke makam, dia terlebih dahulu membawaku ke rumah Mbah Dal.

Mbah Dal telah menyiapkan segelas kopi untukku, lengkap dengan aneka gorengan yang masih hangat, di halaman rumahnya. Sampai disana aku duduk di sebuah kursi tepat di bawah pohon jambu air. Suasana khas pedesaan yang asri dan damai begitu terasa.

"Monggo dilahapi cah bagus," katanya mempersilahkan aku makan. "Mantu Mbah sedang masak Kupat Glabed, ini adanya cuma di Tegal. Sementara ini dulu untuk ganjel-ganjel," ujarnya begitu ramah padaku. Mbah Dal negangkat segelas kopi lalu kembali mempersilahkan aku menikmati makanan yang tersedia. "Monggo," katanya sambil tersenyum. Aku membalas senyumnya, kemudian mengikutinya menyeruput kopi. Rasanya begitu kental dan manis, aromanya juga sangat pekat. Sangat cocok untuk orang yang tidak tidur semalam. "Disambi Mas," katanya sambil menyodorkan gorengan. "Kalau simbah disuruh mengurangi gorengan sama santan sama pak dokter, marai kolestrol," katanya lagi.

Mbah Dal mengeluarkan buntalan tembakau dan segera memulai memamerkan keahlian melintingnya. Aku mengambil sepotong mendoan lalu menggigitnya bersama cabe rawit hijau. Rasanya sangat gurih, rasa hangat dan pedas bercampur jadi satu di lidah mmberiku kenikmatan tersendiri. Mbah Dal sedikit terkekeh melihatku, dia tampak puas berhasil menjamu tamunya dengan baik. "Kalau buat Simbah yang penting ada ini," katanya mengacungkan rokoknya. Sejujurnya aku merasa sedikit aneh melihat Mbah Dal mengurangi gorengan untuk alasan kesehatan tetapi tetap saja merokok. "Mbako ora marai loro, malah marai sehat," katanya sambil menghisap rokoknya. (Tembakau tidak membuat sakit, tetapi membuat sehat) "Yen ono le ngomong udud marai loro, iku ngapusi. Simbah yen mboten udud malah watuk," katanya begitu yakin. "Yang bikin sakit itu rokok pabrik, karena dicampur bahan kimia. Rokok tingwe (linting dewe/sendiri) alami, dijamin aman," ungkapnya penuh semangat. Entah Mbah Dal mendapat teori itu dari mana, yang jelas aku malas mendebatnya. Aku hanya menanggapi dengan senyuman sambil mengambil sepotong tahu.

Sesaat kemudian, seorang anak lelaki datang membawa nampan. Dengan sigap dia menyajikan sepiring ketupat yang disiram kuah santan kuning kental padaku. Seorang anak lain menyusul membawakan sepiring sate, dan rebusan jagung pipil dibalut parutan kelapa. "Ini cucu-cucu Simbah dari yang ragil," katanya memperkenalkan cucunya.

"Ini yang namanya kupat glabed, lauknya sate blengong, blegong itu hasil kawin silang bebek dan mentok (angsa)."

"Kalau ini namanya blendung," katanya mengankat rebusan jagung pipil. "Simbah makannya yang ini saja, takut kolestrol."

"Monggo Mas."

"Seharusnya tidak usah repot-repot Mbah."

"Mboten kok, wong sudah siap semua, mantu sayakan memang punya warung."

Mbah Dal kemudian mematikan rokoknya, dia mengambil blendung dengan lepek gelas kopi lalu menawarkan sisanya padaku. "Nanti ngicipi ini juga."

Kami mulai menyantap sarapan yang telah disajikan. Mantu Mbah Dal benar-benar pandai memasak. Rasanya begitu sempurna. Sate yang disajikan sangat gurih, teksturnya lembut seperti ayam, rasanya mirip daging bebek, hanya saja tidak seamis bebek.

Mbah Dal telah menyelesaikan sarapannya, aku masih sibuk dengan sateku. Beliau kembali tersenyum puas melihat aku makan dengan lahap. Segera ia membuat lintingan rokok untuk merayakan keberhasilan menjamu tamunya.

Usai sarapan, Mbah Dal mengajakku ke makam. Sebelum masuk ke dalam kompleks makam, Mbah Dal menghentikan langkah dan berbalik memandangku.

"Keluarga itu ibarat akar bagi sebuah pohon. Tanpa akar pohon tidak bisa hidup, bahkan tidak akan mampu berdiri kokoh. Pohon mampu bertahan dari terpaan badai karena memiliki akar yang kuat," katanya padaku, "Perjalanamu baru saja dimulai."

Kami mulai memasuki kompleks makam, selain Amangkurat I di sana disemayamkan pula, RA. Kardinah, saudari dari RA. Kartini yang dipersunting Bupati Tegal. Selain itu ada pula putri dari Amangkurat I yang bernama Klenting kuning yang menjadi legenda dalam cerita Ande-Ande lumut. Sambil berjalan aku mngambil beberapa gambar dengan DSLR andalanku.

"Amangkurat I bernama asli Raden Mas Sayidin. Putra dari Sultan Agung Raja Mataram, ibunya benama Ratu Wetan, putri dari Tumenggung Upasanta Bupati Batang, keturunan Ki Juru Martani. Beliau naik tahta mengantikan ayahhnya tahun 1645. Saat menjadi raja, beliau mendapat gelar Kanjeng Susuhunan Prabu Amangkurat Agung. Amangku berarti memangku sedangkan Rat berarti bumi." Kata Mbah Dal menjelaskan sejarah dari raja Mataram ini.

Usai mengelilingi makam, kami kembali ke rumah Mbah Dal. Sambil beristirahat, aku mencoba menanyai Mbah Dal mengenai kehidupan pribadinya. Instingku berkata bahwa kehidupan Mbah Dal bisa menjadi features yang menarik.

Mbah Dal telah menjadi kuncen di makam ini selama 40 tahun. Selama mengabdi, beliau telah banyak mengalami pengalaman spiritual yang menarik. Sejak muda, Mbah Dal sudah sering menjalani tirakat. Sehingga terkadang beliau bisa mengetahui sesuatu sebelum hal itu terjadi. Namun beliau menolak untuk membuka praktek paranormal. "Wangsit itu datang sendiri, tidak saya minta. Kalau saya minta malah tidak datang," ungkapnya.

"Lalu apa yang Mbah maksud kemarin tentang saya," tanyaku penasaran. "Simbah merasakan seuatu yang berbeda dari aura mas'e. Raga panjenengan ini seperti memancarkan wibawa seorang raja. Hanya ada sesuatu yang menghalangi aura itu, sehingga orang biasa tidak akan menyadarinya. Waktu berdoa di dalam, seperti ada yang membisiki simbah kalau panjenagan niku masih cicit dari Amangkurat I."

Kisah Sunyi Dunia PelangiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang