Aku Rindu Ayah (2)

949 37 14
                                    


Hampir tengah malam sekarang, mataku masih tak bisa terpejam. Meski telah menyalakan kipas kamar losmen yang ku sewa terasa begitu panas. Aku masih saja memikirkan perkataan Mbah Dal. Otakku terus berusaha mencari penjelasan logis atas kejadian petang tadi. Bisa jadi yang dihisap Mbah Dal bukan tembakau, melainkan ganja. Bisa juga Mbah Dal mabuk kemenyan.

Tetapi.... Mungkinkah apa yang dikatakannya benar adanya? Di depan namaku, sebenarnya aku masih menyandang gelar Raden Mas. Hanya saja aku telah lama mengbaikannya. Aku pikir tak ada gunanya mempertahankan warisan foedal di era milenial. Memakai gelar itu, sama saja melestarikan kebodohan. Saat aku kecil, aku justru dibully karena gelar bodoh itu.Bukan hanya teman sebaya, tetapi juga orang-orang dewasa. Mereka memanggilku "ndoro". Dalam Bahasa Indonesia kata Ndoro berarti tuan. Kata itu biasa dipakai para hamba untuk menyapa majikannya yang masih keturunan keluarga kerajaan. Mereka memanggil "Ndoro" bukan karena menghormatiku, tetapi sedang menyindirku. Meski memiliki darah bangsawan kami hidup seadanya. Sejak ayah meninggal Ibu mengalami kesulitan ekonomi, sehingga kami terpaksa hidup miskin. Jadilah gelar Ndoro Kere melekat pada kami.

Beberapa tahun, seteah Ayah meninggal, Ibu mengajak kami tinggal di Bali. Meski tetap tak mudah setidaknya kehidupan kami lebih baik di sana.

Mengenai Ayah, tak banyak yang aku ingat. Beliau telah berpulang semenjak aku masih berumur 5 tahun. Saat ayah masih hiduppun kami tak tinggal bersama. Ayah tinggal di daerah Jakarta utara, sedang aku dan kakak tinggal di Brebes bersama Ibu. Ayah datang ke Brebes setahun dua kali. Setiap kali datang ayah selalu membawa buah mangga yang besar-besar. Besar, sangat besar. Besarnya bisa mencapai dua kepalan tangan orang dewasa. Dan rasanya....... Sungguh sangat manis. Aromanya pun begitu menggoda.

Ayah selalu memotong mangga membentuk 'omah tawon'.Saat mengigit mangga itu, rasanya begitu segar. Mangga-mangga itu seolah meleleh dalam mulutku. Mangga yang dibawa Ayah sungguh luar biasa lezat. Sampai-sampai aku dan kakak selalu berebut 'pelok'. Menurutku inilah bagian terbaik dari makan mangga, saat mbrakoti pelok. Membersihkan biji mangga dengan mulut hingga benar-benar tak ada yang tersisa. Ah... Betapa nikmatnya hidup. Usai makan, tentu mulut kami akan cemong-cemong. Untuk itu Ayah telah menyiapkan serbet untuk menyeka mulut kami. Dengan penuh kasih Ayah mengelap mulut kami sampai bersih. Setelah itu Ayah akan memandikan kami, dan mendadani kami dengan sangat rapi. Ayah orangnya sangat rapi dan detail. Dan aku syukuri, hal itu menurun padaku.

Sore hari, saat matahari mulai terbenam, Ayah akan membawa kami berjalan-jalan ke Kota. Tujuan pertama kami tentu saja ke pasar.Kami ke sana untuk membeli baju baru dan juga mainan baru. Selama di pasar Ayah selalu memunjiku. Badan Ayah memang tinggi besar. Tubuhnya begitu tegap. Dari pasar kami berlanjut ke alun-alun kota. Sementara Ayah dan Ibu menikmati teh poci gula batu dan menyantap jagung bakar, aku dan kakak asik bermain kejar-kejaran. Setelah malam semakin larut, kami kembali ke rumah dengan penuh sukacita.

Menjelang usia 5 tahun, Ayahku berpulang ke semesta. Untuk pertama kalinya aku menginjakan kaki di rumah Ayah. Ayah tinggal di rumah adat betawi yang sangat besar. Halamannya begitu luas, ada dua buah pohon mangga besar di sana. Dari situlah mangga-mangga yang di bawa Ayah berasal. Ketika tiba disana aku tertegun memandangi pohon itu, mengenang memori manisku bersama Ayah. Ayah suka sekali memelihara burung. Ada berbagai macam burung yang dipelihara Ayah, mulai dari parkit, perkutut, elang, hingga beo yang bisa bicara. Dan ini yang paling mengagumkan dari rumah Ayah. Ayah punya kolam ikan di halaman belakang. Kolam itu cukup besar, dihias dengan pulau dan air terjun buatan tepat ditengahnya. Kecantikan kolam itu semakin sempurna dengan teratai yang ditanam Ayah. Ratusan nila merah tinggal di dalamnya. Mereka berbagi tempat dengan seekor kura-kura pemalu. Kura-kura itu sepertiku yang juga pemalu. Dia sangat suka berjemur di pulau buatan, tetapi jika tahu ada seseorang yang sedang mengamatinya, dia akan cepat-cepat bersembunyi. Jika tidak masuk dalam cangkang, dia akan cepat-cepat menyelam kedalam air.

Itulah kenangan yang kumiliki bersama Ayah. Mengenai keluarga Ayah, tak banyak informasi yang ku dapat. Aku bahkan tak tau nama kakekku dari Ayah. Yang ku tahu, orang-orang memanggil Kakek dengan sebutan Eyang Jangkun. Perawakan Kakek sama seperti Ayah yang gagah. Jika aku bertanya pada Ibu, beliau akan menjawab, biarkan semesta yang memberi tahumu. Jawaban seperti itu Ibu berikan saat aku berumur 8 tahun. Karena tak mengerti apa yang Ibu, akhirnya aku diam. Aku kubur dalam-dalam rasa ingin tahuku itu, bersamanya aku kubur pula gelar Raden bodoh yang melekat pada namaku.

Kisah Sunyi Dunia PelangiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang