Alise 1

1.8K 37 0
                                    

Malam itu, sama seperti malam sebelumnya. Ketika matahari telah tenggelam aku dan kakak diam di kamar untuk belajar. Mamaku itu warga negara yang baik, jadi beliau mewajibkan anak-anaknya belajar dari jam 18.00-20.00 sesuai dengan program pemerintah soal jam belajar masyarakat. Hanya saja karena aku baru saja lulus SD, aku tak lagi belajar. Aku sekedar membaca-baca buku favoritku. Apalagi kalau bukan novel detektif Lima Sekawan karya Enid Bylton.

Saat kami belajar mama biasa menemani kami sambil merokok. Namun malam itu mama kehabisan rokok. Maka diutuslah aku untuk membeli rokok. Mama suka rokok putih yang rasa mentol. Di masa depan aku meliliki selara yang sama dengan mama. Rokok ini bukan tipe rokok yang laris dipasaran. Jadi tak semua warung menjualnya. Di kampungku, rokok tipe itu cuma ada di toko besar dekat jalan raya. Namanya Sarijaya, jarak sekitar 700m dari rumahku.

Bagiku jarak bukanlah masalah karena aku sebenarnya bukan tipe orang yang bisa diam. Di dalam rumah saja aku suka berjala-jalan. Dari ruang tamu, aku berjalan keruang makan, lalu ke halaman belakang dan kembali lagi ke ruang tamu. Seperti itu terus berputar berulang-ulang. Ragaku berputar disitu-situ saja tetapi imajinasiku sudah entah kemana. Persetan orang anggap aku gila.

Setelah mama memberiku uang berangkat lah aku menunaikan misi mulia itu. Soal jarak memang tak jadi soal, masalahnya adalah ketika berjalan di gang kampong, aku harus melewati segerombolan orang yang sedang nongkrong. Setiap kali aku lewat, aku selalu merasa mereka menatapku dengan aneh. Padahal setiap kali aku lewat, aku selalu menyapa mereka dengan ramah. Papaku orang yang disegani di kampung. Setiap melewati mereka, aku takut mereka mengangapku aneh, lalu ,lapor ke papaku. Jika itu terjadi celaka aku. Tapi demi baktiku pada mama, aku ambil resiko itu.

Dengan mantap aku mulai melangkahkan kakiku menelusuri gang di kampungku. Gang-gang tampak legang. Aku terus melangkahkan kakiku dengan mantap hingga aku mendekati ujung gang. Di sana telah berkumpul beberapa orang pemuda. Rata-rata usia mereka 20an. Aku secara otomatis memperlambat langkahku. Sebenarnya aku ingin cepat-cepat melewati mereka, tetapi aku berusaha terlihat wajar. Beberapa dari mereka mulai memandangku, beberapa tetap asyik mengobrol. Aku benar-benar tak menyukai situasi ini. Jantungku berdegup lebih kencang. Aku semakin dekat dengan mereka. Kukumpulkam seluruh keberanianku untuk menatap mereka. Saat aku lewat di depan mereka, kupasang senyum termanisku. Sambil tetap melangkah aku berkata dengan lembut, "Permisi Mas." "Ngih," kata mereka serempak. Mata mereka terus mengamatiku. Beberapa menahan tawa, beberapa lagi saling berbisik. Sial, salah lagi aku. Sudah terlanjur terjadi mau apa lagi. Setelah sedikit menjauh aku kembali mempercepat langkahku. Anggap saja semua itu tidak pernah terjadi. Tidak, itu telah terjadi. Dan aku masih harus melewati mereka saat kembali. Apa yang harus kulakukan. Huft, betapa susahnya menjadi aku.

Akhirnya aku tiba di toko Sarijaya. Toko itu penuh dengan pengunjung. Untuk membeli rokok sebenarnya telah disediakan counter sendiri sehingga aku tidak perlu mengantri. Namun aku ingin berkeliling dulu. Aku suka sekali berada di pusat perbelanjaan walau sekedar untuk melihat-lihat. Sarijaya toko yang paling lengkap di daerahku. Mereka menjual pakaian, alat rumah tangga, mainan, dan juga barang-barang lainnya. Favoritku tentu saja di bagian pakaian dan mainan. Jika ada baju yang aku inginkan, aku akan bercerita pada mama dan merengek untuk dibelikan. Mama kemudian akan menghubungi temannya yang menjual pakaian. Selang beberapa hari dia akan datang dengan membawa model pakaian yang aku dambakan dan mama akan membelinya secara kredit. Kali ini tak ada yang menarik hatiku. Belum ada model baru yang keluar.

Dari counter pakaian aku beralih ke counter mainan. Untuk mainan jika ada yang kusuka, aku harus menabung. Tak ada kawan mama yang mengkreditkan mainan. Bukan masalah besar, aku tak suka mainan. Fashion lebih menarik bagiku. Aku berjalan perlahan melalui etalase mainan. Terpajang aneka mainan di sana. Mulai dari tamiya, beyblade, boneka caracter Power Ranger, pedang-pedangan dan pistol-pistolan ada juga aneka boneka berjajar rapi dalam etalase itu. Aku sama sekali tak tertarik pada tamiya dan beyblade, walau mainan itu sedang populer karena anime yang ditayangkan di TV. Koleksi Power Rangerku sudah lengkap, dan aku sudah terlalu tua bermain boneka karakter, apalagi bermain pedang-pedangan dan pistol. Sebentar lagi aku SMP. Bagaimana dengan boneka? Lupakan, itu cari mati namanya.

Aku terus berjalan sambil lalu. Hingga akhirnya langkahku terhenti karena suara musik. Samar-samar aku mendenar suara musik klasik. Waktu itu aku tidak tahu itu musik apa, baru setelah dewasa aku tahu itu musik gubahan seorang komposer besar, Beethoven, yang berjudul Alise 19. Aku mencari-cari sumber suara itu. Dan ternyata suara itu berasal dari sebuah mainan yang ada di etalase itu. Suara itu keluar dari sebuah kotak musik berbentuk hati. Warnanya merah, di atasnya ada dua buah boneka kecil, laki-laki dan perempuan. Saat kotak itu dimainkan, akan keluar lagu Alise dan kedua boneka itu akan bergerak saling mendekat. Tepat di tengah kota itu, kedua boneka itu akan bertemu dan berciuman. Mulut bertemu mulut. Kemudian mereka kembali berpisah.

Aku terus berdiri di depan etalase untuk mengagumi benda ajaib tersebut. Bentuknya hati berwarna merah, kotak itu dihias pula dengan ornament bunga berwarna emas. Boneka perempuan mengunakan gaun pengantin putih, sedangkan yang laki-laki mengenakan setelan jas. Aku terus mengamati detail kotak itu. Di bagian belakan kotak music itu tertempel label harga. Susah paya aku melirik untuk mengetahui harganya. "Rp 15.000"

Melihat itu aku langsung kegirangan. Aku masih punya tabungan 20.000, artinya lebih dari cukup. Aku langsung menuju counter rokok untuk membeli pesanan mama. Setelah itu aku berlari ke rumah untuk mengambil tabunganku. Tapi tunggu dulu, bisa celaka aku kalau beli mainan itu. Apa yang akan aku katakan. Ah, iya bilang saja ini untuk Tasya adikku perempuan. Ketika Tasya memainkan kotak itu, aku bisa ikut mengaguminya tanpa seorangpun yang akan curiga. Sempurna. Ideku benar-benar brilliant. Aku terus berlari, sampai di depan gang aku tetap belari. Persetan dengan orang-orang itu. Aku mau cepat sampai rumah.

Sampai di rumah aku aku berteriak memanggil mama. "Maaa!!!!"

"Ada apa teriak-teriak."

Aku terengah-engah dihadapannya. Kusodorkan rokok padanya. Setelah napasku mulai stabil aku mulai bicara.

"Di Sarijaya ada mainan bagus. Kotak Musik bentuknya hati, warnanya merah ada bunga-bunganya juga. Trus ada boneka ciumannya. Musiknya bagus, yang ting ting ting ting itu lho," kataku sambil berusaha menirukan nada-nada alise.

"Harganya Cuma 15.000 kok. Aku mau beli buat Tasya boleh ya," kataku penuh harap.

"Buat apa Tasya masih kecil, belum bisa mainan itu," kata mama padaku.

Aku merasa kecewa, tetapi menolak untuk menyerah.

"Aku beli pakai tabunganku sendiri kok."

"Bentar lagi masuk SMP, mending dismpan uangnya kalau nanti perlu sesuatu untuk sekolah bisa buat tambah-tambah."

"Itu bagus banget, Tasya pasti suka," kataku masih berusaha. Tiba-tiba kakakku menyahut, "Tasya apa kamu. Anak lain pengen tamiya kamu pengen boneka ciuman."

"Iya betul, mending beli tamiya aja," mama menimpali kakakku.

Aku langsung terdiam. Celaka, benar-benar celaka. Modusku terbaca. Apa yang harus aku lakukan sekarang. Beruntung papa belum pulang. Malam itu terasa dua kali lebih sunyi bagiku. Aku harap, aku adalah orang lain. Aku harap aku tak pernah terlahir. Aku harap aku mati.

Kisah Sunyi Dunia PelangiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang