Aku Rindu Ayah (7)

430 23 1
                                    

Menurut kalian apa yang paling mebahagiakan di dunia ini? Jika kalian bertanya padaku maka akan ku jawab seperti ini : ketika aku bangun pagi dan kudapati kepalaku terbaring di atas dada orang yang kucintai. Dan inilah yang terjadi pagi ini. Saat aku membuka mata, hal pertama yang kulihat adalah dirinya. Dengan mataku, aku bisa menikmati lekuk tubuhnya yang begitu sempurna. Dengan telinga, aku dengar detak jatungnya mengemakan nada-nada cinta. Dan hidungku terpuaskan oleh aroma tubuhnya. Tanganku peluk erat dirinya. Kulit kami saling bertemu untuk berbagi kehangatan cinta yang membara. Tak ada yang lebih indah dari ini. Seperti seorang bayi yang tenteram dalam pelukan ibunya. Rasanya seperti mimpi. Kalau bisa, ingin kuhentikan sang waktu, agar mimpi ini menjadi abadi.

Perlahan kulepaskan pelukan Tee agar dia tak terbangun. Dia terlihat begitu lelah. Beberapa hari ini pasti sangat berat untuknya. Sebelum keluar, kupandang wajahnya sekali lagi. Sebuah mahakarya sempurna dari pencipta. Cinta adalah sebuah rahmat yang begitu indah.

Aku merasa bersalah pada Tee, menurutku aku telah bersikap tak adil. Aku ingin pagi ini menjadi istimewa untuknya. Ibu heran melihatku bangun begitu pagi. Beliau mengajakku bersembayang bersama, untuk menyatakan bakti kami pada Sang Hyang Widhi.

Setelah itu Ibu bertanya mengapa aku bangun begitu pagi. Kujawab saja aku ingin menyiapkan sarapan untuk Tee. Ibu tertawa mendengarnya. "Kapan terakhir kali pegang pisau?" tanya ibu pada ku. Aku menggeleng, karena aku sama sekali tak ingat. Pasti sudah lama sekali. Aku cuma suka makan, tidak suka memasak.

"Tumben sekali kamu pengen masak?"

"Kasian Tommy Bu, lagi banyak masalah. Dia kan kesini bukan buat liburan kayak biasanya. Jadi biar ada yang beda."

"Memang apa yang beda kalau kamu yang masak? Beda jadi berantakan malah kasian nanti," kata ibu sambil mengajakku ke dapur.

"Mau masak apa?"

"Telor goreng."

"Kasian sekali Tommy." Ibu tertawa mengejekku.

"Sisa nasi semalam masih bagus, buat nasi goreng aja Dek. Manfaatkan bahan-bahan yang ada. Jadi bisa hemat. Kamu sudah ngerasain susahnya cari uang, sekarang belajar untung mengaturnya. Sudah tiga tahun kerja, kamu belum punya tabungankan"

"Gaji jurnalis lokal emang ga seberapa Bu, tapi aku senang dengan pekrejaanku."

"Kupas dulu bawangnya, yang merah 4, putih 4. Bagus kalau kamu bisa kerja sesuai pasion. Tapi hidup tetap butuh uang. Besar kecil itu relatif. Yang terpenting kita harus pintar-pintar mengaturnya. Dengan penghasilan kurang dari 1jt, ibu bisa membesarkanmu dan kakakmu."

"Satu juta dulu sama satu juta sekarang beda Bu, nilai inflasi harus tetap diperhitungkan."

"Bagaimanapun juga penghasilan Ibu dibawah standart, dan Ibu berhasil menguliahkan kalian. Walau kamu cuma sampai D3, lumayan lah untuk seorang janda. Pakai kemiri biar gurihnya beda, ini diuleg dulu trus baru bawang sama cabai. Mau dibuat pedes ga Dek?"

"Tommy ga suka pedes."

"Pakainya cabai merah aja. 6 biji cukup. Hidup itu berat. Semakin bertambah usia, semakin rumit masalah yang dihadapi. Kamu harus mulai belajar untuk itu."

"Ibu ngomong apa tho?"

"Ngajarin bikin nasi goreng. Keingin manusia itu tidak pernah ada habisnya. Kalau kamu mengikuti nafsu, kamu yang akan habis."

"Kasih garam ga Bu?"

"Nanti, terakhir. Telurnya mau dipisah apa campur."

"Campur aja."

Ibu menyodorkan dua buah telur padaku sambil menatapku tajam. Aku menangkap ada kemarahan dari dalam dirinya. "Ibu kenapa tho?"

"Ini digoreng, diorak-arik, trus tarok cawan dulu. Jangan lupa kasih garam dikit," katanya lalu meninggalkanku begitu saja tanpa petuah kehidupan. Aku rasa ibu memang sedang marah. Aku mengorèng telur itu dengan penuh tanya. Sesaat kemudian, ibu kembali ke dapur dengan membawa nasi.

"Panasi minyak pakai api kecil, lalu tumis bumbunya sampai harum, masukin telor sama nasi, kasih garam aduk sampai rata. Terakhir kasih kecap. Bisa?"

Aku mengganguk walau sebenarnya tak terlalu memahami perintah ibu. Aku mulai mengikuti intruksi ibu satu persatu. Beliau dengan sabar mengamatiku memasak.

"Cinta ibu kepada anaknya takkan pernah berubah. Hanya saja tak selamanya ibu bisa bersama anaknya. Ini sudah hukum alam. Walau cinta itu abadi, tapi tubuh memiliki hukumnya sendiri. Secara logika hidup ibu takkan lama lagi, sementara hidupmu masih akan pajang," kata ibu lagi. Aku memandangnya sedih, aku tak suka ibu bicara kematian. "Awas gosong," katanya, "masukan telornya trus diaduk. Fokus Dek."

"Ibu ngomongnya aneh, mana bisa fokus," aku mengajukan protes padanya.

"Sejak kamu kuliah, kita jarang mengobrol serius. Apa yang ibu sampaikan ini penting. Sudah tugas ibu menyiapkanmu untuk menghadapi hidup yang sesunggunya hidup. Masukan nasinya. Aduk trus biar ga gosong. "

Ternyata memasak tak semudah yang kuduga. "Garam jangan lupa."

"Seberapa?"

"Coba paki insting."

"Ga tahu Bu. Aku kan ga pernah masak."

"Tepat. Memang kamu ga tahu. Segini," katanya menunjukan satu sendok garam padaku lalu menaburkannya. "Umumnya segitu. Tapi bisa jadi selera setiap orang berbeda. Ibu mengajarkan sesuai apa yang ibu tahu. Terakhir masukan kecap. Itu nasi gorengmu, ambilah keputusan tetapi bertanggung jawablah atasnya."

Aku mematikan kompor, lalu terduduk dilantai dan menangis. Ibu duduk disampingku dan memelukku. Dia mengusap lembut pungguku. "Jangan menangis sayang. Tidak ada sesuatupun di dunia ini yang bisa merubah perasan ibu padamu." Ibu membimbingku berdiri. Dia menyerahkan spatula padaku, selesaikan apa yang sudah kamu mulai. Kamu harus berani membuat keputusanmu." Setelah makan Ibu ingin bicara dengan kalian berdua.

Kisah Sunyi Dunia PelangiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang