AKu Rindu Ayah (6)

505 21 0
                                    

Ibu berteriak memanggil kami. Aku sudah kehilangan selera makan ku. Aku menyuruh Tee menemani Ibu. Sementara aku jembali ke meja kerjaku di halaman belakang di bawah kamboja.

"Cakra kenapa Tom?" tanya Ibu kepada Tee.

"Stres banyak kerjaan"

"Sejak pulang dari Brebes, tingkahnya aneh. Jadi lebih murung. Biasanya kalau kamu datang Cakra langsung ceria, ini kok malah makin uring-uringan."

Tee mengangkat bahunya. "Rencana berapa hari di Bali?"

"Belum tahu Bu. Saya kesini bukan untuk liburan, saya datang untuk interview kerja. Rencana saya mau kerja di Bali."

"Malah bagus itu. Jadi Cakra ada yang ada temannya. Anak itu orangnya susah bergaul, dan suka ngeyel. Nurutnya cuma sama kamu."

"Hahahahaa, sama saja Bu, saya kalau ketemu juga cuma diomelin sama dia," kata Tee tertawa.

"Sejak ayahnya meninggal Cakra jadi pendiam sekali. Padahal waktu kecil aktif sekali dia. Temannya banyak. Waktu TK dia suka sekali kalau disuruh maju nyanyi. Dulu dia lebih Pede. Sejak Ayahnya meninggal dia berubah sama sekali. Yang namanya ibu cuma pengen lihat anaknya bahagia."

Tee meraih tangan Ibu, dan menatap matanya. Lalu dia berkata, "Saya janji akan selalu menjaga Cakra Bu. Saya akan buat dia bahagia. Ibu jangan khawatir."

Mata Ibu sedikit berkaca-kaca, kemudian dia melepas tangan Tee.

"Katanya tadi kamu mau nikah?"

"Hoaks, asal ngomong tadi Cakra. Ga ada cewe yang mau Bu. Mau nembak cewe, belum ngomong sudah ditolak. Hahhahah"

"Ibu ga percaya kalau cowo seganteng kamu susah dapat cewe. Secara ekonomi mapan pula. Yang ada kamu pasti terlalu selektif. Standartmu ketinggian jadi ga ada yang masuk kriteria."

"Haish, dah lah Bu, ga usah ngomongin cewe bikin sakit hati. Saya ketempat Cakra dulu Bu."

Tee menemui di bawah kamboja. Dia mengeluarkan sebungkus rokok. "Kamu ngrokok lagi?" kataku. "Aku banyak pikiran Bee," jawabnya.

"Aku ga suka bau nikotin,"

"Kalau sayang aku, kamu jangan egois dong. Ngertiin aku dikit aja. Jangan terlalu ngatur-ngatur gitu."

"Tee, aku ga nglarang kamu kan. Aku cuma aku bilang ga suka bau nikotin. Aku ngerti kok, kamu banyak pikiran. Ngrokok-ngrokok aja, aku tetep sayang kamu. Tapi jangan harap aku mau cium kamu."

Tee menyimpan kembali rokoknya sambil menghela nafas. Aku sedikit tersenyum melihatnya."Bottom's rule," kataku dalam hati.

"Kamu tahu tadi ibu bilang apa?" tanya Tee. Aku menggelengkan kepala.

"Ibu minta aku jaga kamu," kata Tee mengusap kepalaku. "Apa ibu masih ngomongin soal cewe?" aku balik bertanya pada Tee. Dia menggangguk. Aku kemudian tertunduk.

"Tadi ibu nanya apa betul aku mau nikah. Udahlah kamu ga usah mikir aneh-aneh dulu. Ibu pengen kamu bahagia sayang, aku dah janji pada ibu bakal bikin kamu bahagia."

"Ga biasanya ibu bicara kayak tadi Tee, apa menurutmu ibu tahu hubungan kita?"

"Kalaupun tahu, ibu akan menerimanya dengan baik. Itu yang aku tangkap dari obrolan tadi. Sayang, ibu ingin kamu bahagia. Kamu ga perlu menjadi orang lain."

Aku benar-benar takut jika ibu tahu, walaupun menerimanya pasti tetap saja kecewa. Kata-katanya tadi siang begitu jelas. Aku tidak menjadi anak seperti yang ibu harapkan.

"Udah jangan ngelamun, kamu tulis apa?" kata Tee mengangetkanku.

"Features. Gimana hubunganmu sama orang tuamu? Gimana rasanya coming out? Kok bisa sih?"

"Baik, aku kesini aja beli tiket pakai credit card yang dari papa."

"Udah kerja masih pake fasilitas ortu, gengsi Pak."

"Habis lulus aku dah ga pernah pakai, cuma kemarin iseng aja. Pengen tahu, udah ditutup belum, kalau belum kan berati masih dianggap anak. Simple kan."

"Mungkin lupa kalau kamu masih pegang credit card dari beliau, papamu kan sibuk."

"Ga tahu juga ya, biasanya urusan duit papa ga pernah lupa. Papa di Jakarta kelasnya Cuma menengah, bukan orang yang kaya. Mereka tahu aku ga kerja dan aku pamit kok sama mereka kalau aku ke Bali. Jadi kalau mereka niat mencegah aku pergi, bisa aja mereka tutup credit card."

"Dan rencananya pasti kamu bakal sursival di Bali pakai kartu papa. Ga punya harga diri banget sih. Tabunganmu buat apa. Trus papa bilang apa kamu pamit ke Bali?"

"Tabunganku buat modal kita nikah hahahhaha."

"Bangun Tee, bangun, kebanyakan halu kamu. Inget umur Pak"

"Kamu ga pengen Bee?"

"Sayang cobalah realistis, kitakan sudah sepakat, kalau kita tidak akan memaksa untuk mengadopsi culture heteronormative dalam relasi kita. Asal kita bisa bersama dan saling percaya itu dah cukup. Cinta ga butuh sebuah legalitas dari lembaga manapun. Apa kata papa kamu kesini?"

"Papa bilang aku perlu di ruqiah, katanya aku kesurupan setan."

Aku tak tahan untuk tidak tertawa, terkadang respon orang dalam menghadapi lgbt memang mengelikan, namun juga miris. Betapa kuat stigma yang menempel pada kami.

"Malam itu, kenapa tiba-tiba kamu coming out?"

"Sebenarnya aku sudah ga kerja satu minggu ini. Cuma aku ga cerita, karena aku tahu kamu lagi kejar deadline. Itukan tanggal kamu lagi sibuk-sibuknya."

Aku terkejut mendengar cerita Tee, aku sudah merasa ada yang aneh sejak Chat dengannya.

"Ternyata managerku itu kawan lama papa, udah satu bulan ini tingkahnya beda. Ternyata mereka punya rencana jodohin aku sama anaknya. Jadi aku resign sebagai bentuk protes. Ga bakal nyaman kalau aku menolak perjodohan, tetapi tetap kerja di bawah dia. Papa memang memanfaatkan situasi itu biar aku terpojok ga bisa nolak." Tee menghentikan ceritanya, dia tampak gelisah. Aku memandangnya iba, kumeraih tangannya dan menggenggamnya. Kemudian Tee lanjut bercerita.

"Malam itu, papa tahu aku resign. Dia marah besar. Aku di sidang dihadapan semua keluarga. Abangku sama kakak juga ada. Aku ditanya kenapa ga mau nikah, padahal Lisa, anak managerku itu, cantik dan sudah kerja juga. Terus aku ditanya macam-macam, maunya yang kayak apa? Emang Lisa kurang cantik? Kenapa ga pernah jalan sama cewe? Akhirnya aku bilang aja kalau aku gay, dan aku sudah punya kamu."

"Heiiiih aku dibawa-bawa. Jadi keluargamu sudah tahu aku homo juga. Apa kata mereka?"

"Papa ngomel ga jelas. Katanya aku di pelet sama kamu. Aku dibego-begoin sama papa. Bisa-bisanya aku suka sama banci. Gitu katanya. Habis itu aku ditonjokin sama abangku. Mau nglawan badannya kok gede banget. Cuma kakakku sama suaminya yang belain aku. Kalau ga ada mereka habis aku. Mama nangis. Mama bilang, aku mau dipanggiln dokter aku dan ga boleh keluar rumah sampai aku "sembuh". Daripada stres aku kabur ke rumah Joan. Habis itu aku cerita sama pacarku, tapi malah dibego-begoin lagi. Kasian ya. Untung aku sabar," katanya menutup cerita sambil melirik sinis ke arahku. Aku sedikit merasa bersalah, ku amati pelipisnya memang sedikit memar. Sebagai permintaan maaf, aku mencium pipinya.


Kisah Sunyi Dunia PelangiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang