ONLY GOD KNOWS WHY

367 17 0
                                    

Tribute to Septa Antoni

28 September 1994 - 16 Januari 2018.


Beberapa tahun lalu, seorang sahabat dekat saya dari komunitas LGBTQ berkata ingin membuat sebuah tattoo di dadanya. Tatto permanen sekali tertoreh di kulit maka akan abadi selamanya . Membuat tattoo bagi sebagian orang bukan sekedar seni, tatto menjadi semacam media untuk menegaskan jadi diri seseorang. Makanya ketika dia bertanya kalimat apa yang cocok untuknya saya tak berani menjawabnya.

Akhirnya dia menemukan sendiri kalimat yang sesuai dengan dirinya. "Only God Knows Why" Itulah kalimat yang dipilih untuk diabadikan di atas dadanya. Kalimat yang sangat menarik dan dalam, meski sebenarnya kalimat ini juga bernada keputusasaan.

Dua hari lalu, sahabat saya itu berulang tahun. Sayangnya kami tidak bisa merayakannya lagi, karena dia telah berpulang ke pangkuan semesta. Dan hari ini(30/9) seorang kawan juga berulang tahun, ketika saya mampir ke akun FBnya saya justru mendapati kabar bahwa dia puntelah berpulang bulan Maret lalu. Kepergian mereka membuat saya kembali teringat pada kalimat yang tertulis di dada sahabat saya itu.

Pertanyaan mengapa seseorang menjadi LGBTQ selalu mewarnai perjumpaan saya dengan kawan-kawan LGBTQ. Saat ini, setelah lebih dari 10 tahun saya berinteraksi dengan mereka, pertanyaan tersebut masih belum menemukan jawabnya. Entah berapa banyak orang yang saya temui, mereka semua memiliki pertanyaan yang sama. "Mengapa semua ini terjadi?" sampai saat ini, para ahli sendiri belum menemukan jawaban yang pasti, hingga akhirnya kalimat "Only God Knows Why" menjadi jawaban paling masuk akal untuk diterima.

Ada banyak kisah menarik di sekitar dunia pelangi, yang selama ini tidak terdengar. Masyarakat terlalu sibuk menhakimi, demi membuktikan diri sebagai "orang baik". Sadarkah kitabahwa penghakiman social yang diberikan terhadap kelompok-kelompok minoritas, bisa berakibat fatal bagi mereka. Pernah saya mengikuti sebuah FGD yang diikuti kelompok homoseksual, dalam FGD tersebut diajukan pertanyaan apakah mereka pernah berpikir untuk bunuh diri. Dari sepuluh peserta, coba kalian tebak berapa orang menjawab tidak? Sepuluh orang dari sepuluh peserta menjawab pernah berpikir untuk bunuh diri.

Saya pernah bekerja di sebuah LSM yang bergerak di bidang penanggulangan HIV/AIDS. Di sana saya mendampingi komunitas LSL*. Setahun bekerja, saya merasakan itu bukan sebuah pekerjaan yang mudah. Sebagian besar orang yang saya temui, bersikap apatis terhadap isu yang kami usung. WHY? Saya rasa saya tak perlu menjelaskannya.

Apa yang mereka butuhkan sebenarnya sederhana. Mereka hanya ingin didengar, tanpa dihakimi. Rasa adalah sebuah rasa, tak ada yang salah dengan cinta. Ini alasan saya menulis kisah ini. Terrkadang saya merasa konyol ketika saya yang sudah mulai tua, bereput lapak diantara para remaja pengemar drama korea. Ketika saya menulis, saya percaya mempunyai tanggung jawab untuk mewakili suara-suara yang selama ini diam.

Beberapa tahun lalu, kita dihebohkan dengan kasus mutilasi di Jember yang dilakukan seorang bernama Ryan. Kebetulan Ryan adalah seorang homoseksual. Saya ingin mengajak kita melihat bagaimana sikap kita waktu itu. Mungkin kita dengan mudah ikut menghakiminya sebagai seorang psikopat, lalu kita bersama-sama menstigma seluruh komunitas LGBTQ sebagai seorang psikopat, immoral, dan juga tidak berakhlak.

Hari ini saya ingin mengajak kita semua berpikir lebih jauh. Menghakimi itu mudah, tetapi pernahkah kita berpikir tentang rasa sepi, binggung , takut, dan tertolak yang mereka alami? Pernahkah kita berpikir, bahwa tangan kita ikut bertanggung jawab atas darah yang tertumpah dari tangan Ryan. Bahwa apa yang dilakukan Ryan adalah buah dari penghakiman social yang kita berikan terhadap kelompok LGBTQ.

Ryan adalah sebuah contoh ekstrem, tentu kita berharap kejadian serupa tidak terulang lagi. Namun saya ingin mengingatkan, pada saat ini, disekitar kita, ada ratusan, bahkan ribuan orang yang memiliki orientasi seksual berbeda dari mayoritas. Mereka yang yang saat ini hidup diam bersembunyi dalam kebingungan. Mereka yang terjebak pada pergaulan bebas, dan abai terhadap bahaya HIV. Mereka yang hidup dalam keputusasaan, lalu lari pada minuman keras, bahkan juga  narkoba. Mereka yang saat ini kebingungan mencari jati diri dan akhirnya memilih untuk berkecimpung dalam dunia portitusi. Meski mereka diam, sesungguhnya mereka ada. Mereka bisa saja kawan kita, saudara kita, anak-anak kita, Orang tua kita bahkan bisa juga pasangan kita (suami, istri).

Jadi masihkah kita ingin menjadi hakim atas sesame kita, atau memilih sesuatu yang berbeda? Yakni belajar untuk mendengarkan.

Tribute to Septa Antoni

28 September 1994 - 16 Januari 2018.

* LSL = Lelaki seksual lelaki.

Orientasi seseorang tidak  menularkan HIV, yang menularkan HIV adalah perilaku seks beresiko. (bergoonta-ganti pasangan tanpa mengunakan kondom)

Saya tidak tahu penyebab kematian kawan saya. Menurut cerita temannya dia mengalami komplikasi penyakit dalam akibat terlalu banyak mengkonsumsi minuman keras.



Kisah Sunyi Dunia PelangiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang