Alise (Awal Mula)

3K 49 0
                                    

Mama bilang aku itu jago kandang. Di rumah, aku banyak tingkah, tapi di luar aku pendiam. Sebenarnya itu wajar saja buat seorang introvert. Aku takut seseorang menganggap ekspresiku tak wajar. Bahkan di rumahpun aku sangat berhati-hati. Jangan sampai orang rumah menilaiku aneh. Jadi aku selalu berusaha bertingkah sewajarnya. Ruang ekspresi terbaik ada dianganku. Dalam imajinasiku, aku bisa jadi apapun yang aku mau, tanpa takut ada yang menghakimiku. Tapi ternyata anganku tak sepenuhnya aman. Kala aku terlalu asyik dalam imajinasiku, aku bisa tersenyum sendiri. Akhir aku kembali terhakimi. Dituduhlah aku sebagai orang gila.

Serba salah memang. Aku sendiri tak tahu bagaimana harus bersikap. Aku diam salah, aku bicara salah, bergerak tambah salah. Lalu aku harus bagaimana. Rasanya mengerikan berjalan dalam kegelapan. Berjalan tanpa tahu arah. Semua serba gelap. Aku seperti punya pilihan tetapi tak diberi kesempatan untuk memilih. Semua terjadi begitu saja. Lalu aku bisa apa selain belajar menerimanya.

Pernah suatu hari aku bermain lipstik. Waktu itu aku masih sangat kecil, yah kira-kira umur 6 tahunanlah. Di usia segitu, aku tak terlalu memahami apa itu konsep gender. Motivasiku bermain lipstik sebenarnya hanya untuk seru-seruan. Maksud hati aku ingin terlihat lucu seperti badut dan membuat semua orang tertawa. Sayang seribu sayang, keisenganku itu berbuah petaka. Ketika Papa mendapati aku bermain lipstik, tanpa basa-basi tangannya mendarat di pipiku. Tak cukup ditampar, aku pun dimaki-maki bahkan aku diusir dari rumah. Sebagai anak kecil aku cuma bisa menangis.

Mulai dari situlah aku mengerti apa itu gender. Dan mulai saat itu, sebagai seorang anak berpenis, aku bertekad bulat untuk menghidari segala sesuatu yang bersifat feminim. Namun apa mau dikata, aku tetap saja terlihat feminim. Bahkan ketika aku bicara selalu saja ada yang berkata suaraku mirip perempuan. Aku benci sekali jika ada orang mengatakan itu. Aku takut papaku marah. Jika itu terjadi aku tak tahu harus berbuat apa. Jadi aku lebih suka diam. Diam dalam anganku. Lebih baik dikira gila daripada dianggap banci. Amannya memang seperti itu. Cukup satu kali saja aku ditampar. Aku tak mau lagi. Tidak, takkan pernah kubiarkan terjadi lagi. 

Kisah Sunyi Dunia PelangiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang