Prolog; Surat Sakti

32.6K 527 12
                                    

Aku benci sakit.

Aku benci klinik ini. 

Aku benci menunggu.

Aku termenung melihat ruang tunggu dengan tidak sabar. Aku sudah hafal dengan detail klinik kampus ini sampai sampai bosan karena terlalu sering jatuh sakit. Sudah satu jam lebih aku menunggu namun namaku belum juga dipanggil masuk. 

Sambil mengelus elus kucing kuning jantan yang keenakan duduk dipangkuanku, pikiranku melayang kepada Dewa. Baru kemarin dia berjanji untuk menemaniku kedokter hari ini karena keadaanku yang makin parah. Tapi yang ditunggu dan diharapkan tak kunjung datang, bahkan membalas pesankupun tidak. 

Aku bukan tipe pemaksa, aku tidak akan mengingatkan akan janjinya, tidak pula menerornya menyuruhnya menemaniku, aku hanya ingin dia menepati janjinya.

"Kirana silahkan" setelah diperiksa tensi dan berat badan, aku dipersilahkan masuk.

Ruangan ini mudah dikenali, sama persis seperti ingatanku tiga bulan yang lalu, yang membedakannya adalah sosok dokter yang duduk dikursi dan sepertinya hampir tidak menyadari keberadaanku. Aku lekas duduk dan otomatis memperhatikan apa yang dikerjakannya. Aku berdehem sopan, akumulasi ketidaksabaranku dan perutku yang meronta ronta perih. Akhirnya dokter itu menyadari keberadaanku dan menatapku tajam dibalik kacamata berbingkainya.

"Kenapa kamu" tanya dokter itu sambil membaca riwayat pemeriksaanku sebelumnya.

"Saya dua minggu ini batuk pilek radang tenggorokan dok, maag saya juga sering kambuh, kalo abis makan saya mau muntah, baru dua hari lalu saya demam"

"Siapa namanya, fakultas apa"

Tidak mungkin dokter itu tidak tahu, karena dari tadi ia membaca riwayat pemeriksaanku dan jelas jelas nama dan fakultasku terpampang nyata disana.

"Kirana dok, dari FK"

"Angkatan berapa"

"2018"

"FK kan, coba kamu anamnesa sendiri kamu kenapa"

Meskipun aku tau itu adalah pertanyaan menjebak namun tetap saja gelagapan dan merasa ditembak langsung. Meskipun beberapa kali kejadian ini berulang setiap aku ke dokter- langsung diiringi tertawa yang menandakan bercanda- namun dokter ini tidak sama sekali menunjukkan itikad bahwa ia sedang main main.

Bukannya mengingat ngingat pelajaranku, aku langsung mengingat ingat dimana aku pernah bertemu dokter ini, setelah menggali gali dan melempar beberapa informasi tidak penting di otakku, akhirnya aku menemukan jawabannya, ya dokter ini pernah mengisi salah satu lecture di FK sekitar satu bulan yang lalu. 

Secara tidak sadar aku memperhatikannya, usianya mungkin baru 30an, wajahnya ditumbuhi brewok dan kumis tipis serta rambut yang sedikit beruban. Saat mengisi kuliah sebulan lalu aku tidak terlalu memperhatikan wajahnya, aku selalu tertidur saat lecture kelas besar karena selalu pulang diatas jam satu sehabis rapat organisasi. Aku merasa diperhatikan dengan tajam oleh dokter itu. Aku merasa netranya menembus kedalam pikiranku, buru buru aku membuang lamunanku.

"Mungkin radang amandel disertai gejala gastritis dok"

"Baiklah, silahkan naik" Ia menunjuk ke ranjang pemeriksaan. Ia mengenakan stetoskopnya dan menekan nekan dadaku. Kemudian stetoskopnya beralih ke sekitar perutku tempat lambung berada, serta mengetuk ngetuknya menggunakan tangannya. Ia terdiam sejenak, lalu menyuruhku membuka mulut dan menggeleng geleng. Ia menyilahkanku turun dan langsung duduk dikursinya.

"Kamu ngerokok ya"

Deg. 

Kalimat itu merupakan sebuah pernyataan bukan pertanyaan.

Gairah Tak BiasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang