Dokter Yang Tidak Mau Dipanggil Dokter

11.5K 368 4
                                    


Aku menemui Dokter Abimana sepuluh menit kemudian. Ia duduk di kursi tunggu dan terlihat sibuk memainkan Ipadnya dan tidak menyadari-atau pura pura tidak menyadari- kedatanganku. Aku tidak mau mendekatinya, apalagi duduk disebelahnya, apalagi menyapanya setelah kesemena menaan yang sialnya sama sekali gagal kubantah. Aku pura pura sibuk membaca visi misi klinik ini yang sangat konvensional dan sama sekali tidak menarik. Tiba tiba bahuku terasa ringan dari beban tas ransel yang kugendong dari tadi. Dokter Abimana menarik tasku dan membawakannya seraya memberi isyarat untuk mengikutinya. Aku mengikutinya seperti anak ayam yang mengekor induknya, dan ketika sampai parkiran aku berfikir untuk berputar balik dan kabur. Bagaimana kalau dokter ini orang yang jahat, atau akan terjadi sesutau yang tidak pernah kuinginkan dan kenapa aku mau maunya mengikutinya. Persetan dengan barang barangku yang penting dompet dan hape sudah dikantong celanaku. Aku baru saja berbalik arah dan bersiap kabur ketika, sebuah tangan menarikku dengan lembut dan menuntunku menuju sebuah mobil keluaran terbaru di tempat parkir "khusus dokter".

Baiklah ini sudah gila, aku duduk didalam mobil dan disebelah dosen sekaligus dokter yang baru kukenal sehari. Aku bungkam seribu bahasa, tidak mengeluarkan sepatah katapun sebagai bentuk perlawanan. Kulihat Dokter itupun juga fokus kejalan sambil bersenandung ringan mendengarkan lagu yang diputar di mobilnya. Ngomong ngomong soal lagu, sebenernya aku reflek ingin ikut bersenandung karena daritadi lagu yang diputarnya seusai dengan seleraku, tapi aku bisa beneran gila jika tidak mengungkapkan semua isi pikiranku jadi,

"Dok maaf ya sebelumnya tapi meskipun dokter itu dosen saya tapi gabisa juga semena mena. Kenapa sih saya diperintah perintah, disuruh suruh hana hene, dipaksa dianter pulang, padahal saya bisa aja naik ojek yang mangkal didepan-opsi ini baru kepikiran-, saya tau saya salah saya bohongin dokter karena minta surat sakit kemaren tapi gabisa gini juga"

"Panggil saya Abimana aja" Baiklah dokter ini sama sekali tidak mendengarkan konteks yang kubicarakan.

"Dok, bagaimanapun saya kesel sama dokter, dokter tetep dosen saya, saya masih menghormati dokter dan saya tegesin, dokter gabisa maksa maksa saya lagi"

"Abimana. Dan gaada yang maksa kamu" ia masih menatap lurus kejalan yang akupun baru sadar tidak tau ini dimana.

"Lah tadi nyuruh nyuruh makan trus maksa buat nganter balik, itu namanya bukan maksa?"

"Umur kamu berapa Kirana?" baiklah aku mulai capek ngajak ngomong dokter ini

"18" aku terpaksa menyahut.

"Tahun kedua di pendidikan dokter kan?" lama lama aku muak dengan pertanyaan retorisnya

"Iya" aku menjawab dengan ketus.

"Saya yakin kamu tau alasan kenapa saya nyuruh kamu makan dengan kamu yang maag akut dan belum makan seharian, meskipun saya tahu kamu ga suka bubur dari klinik, dan saya ga maksa kamu buat saya anter pulang karena kamu emang gaada pilihan ditambah hape kamu mati dan kondisi kamu yang belum pulih gamungkin saya biarin mahasiswa sekaligus pasien saya pulang naik ojek pangkalan ditengah kondisi kota yang ga kondusif karena demo yang berhasil kamu ikutin kemaren karena mempergunakan surat sakit dari saya." Pandangannya tidak beralih sama sekali dari jalanan dengan kalimatnya lugas dan dengan sekali tarikan berhasil membuatku sulit untuk membantah.

Aku membisu, dan hanya bisa memasang wajah seketus ketusnya untuk perlawanan. Objek yang aku jadikan sebagai perlawanan tampaknya sama sekali tidak terpengaruh dan tetap menyetir dengan santai, sama sekali tidak terganggu bahkan dengan manusia sekalipun disampingnya.

Karena bosan, aku iseng melihat bayanganku dicermin yang berada dibalik penangkal matahari. Kulihat bayanganku dengan rambut yang kusut masai, wajah yang pucat, dan sedikit goresan luka dipipi yang baru kusadari, aku tau bentukanku pasti berantakan namun tidak menyangka akan sekacau ini. Melihat lihat interior mobilnya dan baru sadar bahwa banyak sentuhan kayu pada bagian dashbornya. Oke juga sebenernya mengingat ngingat aku terobesesi dengan sesuatu yang berbau kayu. Mobil ini juga dilengkapi tv dan sound system yang meskipun aku tak paham paham amat, bagus dan terbaik. Selain itu mobil ini bersih dan wangi sekali namun bukan wangi yang memuakkan untuk ukuran pria-baiklah aku baru kepikiran apakah dokter ini sudah berkeluarga atau belum-. Kami memasuki daerah tenggara bawah yang berarti dekat dengan kos kosanku, aku tau ia pasti tau dari biodata pemeriksaanku dimana kosanku berada, namun tetap saja ini membuatku tidak habis pikir. Kami berhenti disebelah tukang bubur yang kebetulan langgananku dan ia memesan dua porsi untuk dibungkus lewat kaca yang dibuka. Selagi memesan bubur, aku sibuk menyembunyikan wajahku agar kang bubur tidak bisa melihatku, dan sepertinya gelagatku terlihat olehnya. Setelah buburnya jadi, ia memberikan uang pecahan lima puluh ribu dan menolak kembalian. Kang bubur mengenaliku dan dengan polosnya melambai lambaikan tangan dengan semangatnya kearahku. Aku hanya bisa tersenyum salah tingkah dan dokter Abimana langsung menutup jendelanya yang 90 persen gelap itu.

"Saya minta nomor hape kamu, WA, dan Id Line kamu" ujarnya tanpa tendeng aling aling, ketika kami sampai persis dan tepat didepan kosanku.

"Minta kok kayak kalimat perintah" kataku ketus, yang bahkan aku tidak menyangka akan mengeluarkannya.

"Kirana, saya minta nomor WA dan Id Line kamu, bukan perintah, saya ga pernah merintah merintah kamu" Baiklah aku tau ini menjebak, rasanya aku ingin berteriak didepan mukanya dan mengajarinya untuk membedakan mana minta yang sopan dan mana kalimat perintah. Tapi kalau begitu secara tidak langsung, aku mengakui bahwa aku memang diperintah dengannya dan aku gengsi untuk mengakui itu maka kubatalkan niatk untuk mencak mencak dan memberikan nomor WA serta Id Line ku.

"Kamu harus habisin bubur ini sebelum minum obat dan langsung istirahat, jangan keluar dulu karena situasi lagu ga kondusif, dan jangan lupa ransel kamu dibagasi" ujarnya sambil mengotak atik hapenya untuk mengganti lagu.

"Iya dok" kataku, tetap judes.

"Abimana, dan sampai nanti"

"Sampai Nanti"nya itu agak menakutkan ku. Aku melihat mobilnya melaju,tepat setelah aku menutup pintu dengan keras keras. Seperti empunya, mobil itu tidak kenal basa basi.  

Gairah Tak BiasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang