Sampanye yang Tumpah

3.7K 220 35
                                    

Deg.

Jantungku benar benar berdegup begitu kencangnya hingga aku takut mbak mbak yang sekarang sedang mengepel lantai kamar mandi dengan risih karena aku yang sedari tadi bergeming tepat di tengah tengah ruangan kamar mandi ini mendengarnya Menyadari kerisihan mbak mbak itu aku masuk ke salah satu bilik dan badanku otomatis bersender ke tembok karena lututku terlalu lemas untuk menopang badanku.

Baskara tahu.

Kebohonganku tamatlah sudah.

Well, sebenarnya dia tidak benar benar tahu sih, dia tahu kebohonganku hari ini karena ia dengan dalih "ingin menyapa mamaku" datang kekosanku tadi sore dan tadaa sudah bisa ditebak aku dan mamaku tidak pernah berada disana.

Aku tidak sanggup menyiapkan kebohongan lain untuk menutupi kebohonganku ini maka aku dengan pasrah mengaku kalau aku sedang berada di luar kota-tentu saja tidak memberi tahu apa urusanku- dan jawaban Baskara membuat perutku mual dan tidak ada hubungannya dengan sampanye yang tidak sempat kuminum.

Baskara sedang menuju kemari.

Entah berapa lama aku hanya bengong di dalam bilik itu sampai suara ketokan di pintu mengangetkanku.

Abimana berdiri kaku dihadapanku dengan marah.

Ia menarikku dengan sembrono keluar dari kamar mandi mewah itu dan membawaku ke sebuah sudut gelap yang tidak mungkin terdengar oleh orang lain. Acara itu sepertinya masih berlangsung karena didepan ballroom ini hanya ada aku, Abimana dan dua orang resepsionis yang sibuk mengantar beberapa tamu kaya yang baru berdatangan.

"Lepasin gua anjir, sakit" aku meronta dan menarik tanganku dari genggaman kuatnya.

"Kenapa Kirana, kenapa sekadar play along sama saya untuk hari ini aja kamu gabisa?" nada suaranya tidak lagi datar namun lebih ke amarah yang tertahan sedari tadi.

"Marah lu sama gua? Kebalik tolong" jawabku dengan ketus. Aku benar benar heran kenapa justru Abimana yang marah denganku, hell aku yang lebih berhak marah.

"Saya gamau ceritain hal pribadi saya ke kamu dan kamu marah? Kalau kamu lupa Kirana kalau di kontrak kamu ga berhak-"

"PERSETAN KONTRAK! GAADA KAN DI KONTRAK LU HARUS PEDULI SAMA GUA? GAADA KAN DI KONTRAK LU JADI PSIKOLOG GUA TIAP MINGGU! TAPI LU NGELAKUIN ITU! DAN SEKARANG GUA CUMAN NANYA SATU HAL TENTANG IBU LU LU GAMAU JAWAB!" aku benar benar muak dan berteriak didepannya.

"Kirana-"

"BODO AMAT ANJING GUA GA PEDULI LU MAU NYEBUT GUA KURANG AJAR ATAU KETERLALUAN ATAU APA LAH OMONGAN TINGGI LU TENTANG ATTITUDE, ABANG LU TUH YANG HARUS DIAJARIN ATTITUDE BANGSAT" tanpa kusadari wajahku memerah dan badanku gemetar namun aku belum selesai.

"Kirana cukup-"

"ENGGA INI GA CUKUP! GA PERNAH CUKUP KARENA SIKLUSNYA GINI, DAN ABIS INI LU PASTI MAIN PSIKOLOG PSIKOLOGAN SAMA GUA DENGAN ENAKNYA NGOREK SEMUA PRIVASI GUA TANPA NGEJAWAB SATUPUN PERTANYAAN GUA"

"Kirana ini bukan tentang saya yang gamau cerita, kamu marah karena Abang saya ngatain kamu gundik dan melampiaskan ke saya, kontrol emosi kamu-"

"IYA GUA MARAH SAMA ABANG LU YANG BRENGSEK DAN GUA LEBIH MARAH SAMA LU YANG GA NGEBELA GUA SAMA SEKALI!  GUA UDAH MUAK SAMA LU! LU TUH KAKU, ANTISOSIAL, NARSIS, SARKAS DAN EGOIS! PUNYA HATI GA SIH?"

"Kirana, kamu udah keterlaluan" Wajah Abimana mengeras, urat urat di dahinya menonjol dan ia menggenggam tangannya terlalu keras sampai memutih. Aku tidak pernah berhadapan dengan marahnya Abimana setidaknya garagara tindakanku. Dulu ketika dia marah karena aku meminum obat lebih dari takaran yang seharusnya aku tahu dia marah demi kebaikanku, namun sekarang ia marah karena memang aku yang memulainya.

Gairah Tak BiasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang