The Game is On

6.3K 259 17
                                    

Warning: 18++!! 

Sabtu 12 Oktober 2019

Males ah.

Aku benar benar muak dengan jurnal ini dan ingin melemparkannya ke kasur ketika kudengar suara dering telfon. Mamaku menelfon, ia jarang menelfon kecuali jika ada hal hal penting. Aku batalkan aksi anarkisku kepada jurnal sampul kayu hitam itu.

" Iya Ma kenapa?"

"Rana kamu sehat kan? Sekarang mulai musim ujan, jangan ujan ujanan, jangan maksain rapat kalo ujan" ujar Mamaku dengan nada khas mengomelnya yang aku rindukan.

"Iyaa ma, engga kok, biasanya aku nebeng sama Bee kalo rapat sama Zami tenang aja ma" ujarku berbohong, baru saja kemarin aku kehujanan karena ketika pergi rapat karena tidak mau merepotkan Zami untuk menjemput

"Awas ya kamu, Rana mama minggu ini gabisa ngirim uang dulu ya, pesenan roti mama belum dibayar, mungkin hari rabu baru ada, uang kamu masih ada kan?"

Sebenarnya uangku lebih dari cukup karena setiap bulan ditransfer sama Abimana sialan itu. Tapi mendengar ini tetap saja membuat hatiku perih.

"Masih kok ma, kemaren Rana dapet honor ngirim tulisan, lumayan karena ke media nasional, apa Rana transfer sebagian aja ke Mama?" aku berbohong dan mati matian menahan suaraku agar tidak bergetar.

"Kalo Mama masih cukup Ran, gaji Abang masih ada, cuman ngirim ke kamunya belom bisa" diujung sana, kudengar suara yang tercekat.

"Beneran Ma? Gapapa Rana kirim yah biar Mama ada modal untuk buat Roti, Rana sering dibawain Mama Rein makanan beku kok jadi hemat" Salah satu usaha keluarga Rein adalah catering sehat dan Rein sering membagi bagikan produknya ke kami, meskipun ia sendiri makannya ga sehat.

"Maafin Mama ya Ran" Kudengar Mamaku sudah terisak

"Udah ma, gapapa Maafin Rein kuliahnya lama, bukunya mahal, alatnya mahal" Air mata sekarang sudah membasahi pipiku namun aku mati matian terdengar tegar didepan mamaku.

"Yaudah Ran, Mama seneng kamu baik baik aja, nanti kalo pesenan Roti Mama udah dibayar, Mama ganti uang kamu" ujar Mamaku, suaranya masih bergetar

"Gampang Ma gausah" Kataku meyakinkan

Setelah beberapa obrolan dan menayakan kabar abang, aku menutup telfon dan tak bisa lagi menahan isakku. Aku adalah harapan satu satunya Mama dan Abang, sementara mereka bekerja keras untukku aku tidak pernah serius kuliah disini karena tidak bisa menikmatinya. Tangisku mereda ketika mendengar suara ketokan di pintu.

Tubuh jangkung Dewa dengan raut lelahnya seperti biasa tersenyum didepanku dan aku langsung mengahmburkan diri ke pelukannya. Tangisku makin terisak ketika ia mengusap usapkan tangannya ke bahuku dan membalas pelukanku dengan erat.

Aku harap waktu berhenti selamanya di pelukan Dewa.

Wangi tubuhnya masih menepel di bajuku ketika ia masuk dan langsung membuatkan teh untuk kami berdua. Ia menghampiriku yang sekarang duduk termenung dengan airmata yang masih terus mengalir dan merangkul tubuhku. Aku menyenderkan kepalaku ke dadanya yang bidang

"Mau cerita ga kenapa?" ujarnya lembut

Aku menceritakan semuanya, semua keresahanku, semua rasa bersalahku, semua penyesalanku.

"Kal-kalo aja Papa masih hidup, pasti kita gabakal susah gini, kal-kalo aja aku bisa nikmatin dan belajar bener bener , kal-kalo-" aku masih terisak

"Kirana dengerin aku" Dewa memutar tubuhnya menghadapku, aku bisa melihat jelas kedalam mata cokelat mudanya yang ramah itu

"Bukan salah kamu, ga pernah salah kamu, dan gapapa kamu ga nikmatinnya, kamu disini juga karena keinginan mama dan abang kamu, itu berarti kamu udah berusaha untuk nyenengin mereka" Dewa tersenyum dan mengusap air mataku. Aku sekali lagi memeluknya kali ini lebih erat.

Gairah Tak BiasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang