Kontrak!?

9.7K 315 6
                                    

Mobilnya yang digunakan untuk menjemputku, re:menculik, berbeda dengan mobilnya yang ia pakai kemarin. Tidak ada sentuhan pribadi pada mobil sejuta umat ini, aku curiga jangan jangan mobil ini adalah mobil rental karena saking normalnya mobil ini. Aku duduk sambil memasang tampang secemberut mungkin. Pertama nasi goreng kambingku yang sangat terasosiasi dengan Dewa dibuang olehnya tanpa belas kasih, kedua dia merebut rokoku dengan paksa setelah sebelumnya kutahan mati matian, tiga apa maksudnya dengan rule, empat kenapa aku mau mengikutinya dan pada akhirnya duduk disampingnya, lima dia dari tadi diam saja dan sama sekali tidak ada itikad untuk memulai pembicaraan denganku.

"Apa maksudnya rule, dan kita mau kemana" kataku memulai karena aku tidak tahan dengan keheningan ini

"Untuk pertanyaan pertama nanti saya jawab, kita mau ke psikiater, nuntasin kebohongan kamu" ujarnya dengan kalem, sambil matanya lurus ke depan, bibirnya yang tipis dan merah alami itu terkatup rapat sesaat setelah menjawab pertanyaanku, bibir itu benar benar berbicara seperlunya saja.

"Gamau ah ke psikiater lagi, capek" ujarku, membayangkan ruang dingin yang penuh dengan tatapan kosong dan keheningan. Menunggu kepastian kapan dipanggil ke ruang konsul untuk sekadar merasa hidup.

"Kamu anak kedokteran, kamu tau kan psikosomatis(3), itu yang terjadi di kamu"

"Saya gapapa" ujarku, berbohong, kebohongan yang selalu diulang ulang.

"Kirana, saya tau kalau kamu bohong"

"Tau dari mana" ujarku lebih ke ingin mengalihkan pembicaraan

"Saya dokter dan pernah belajar psikologi, saya tau gerak gerik orang yang bohong"

Deg.

Sehabis itu, ia kembali membisu dan sibuk dengan jalanan yang kami lalui, Aku tertegun, ternyata masih ada sisi manusiawi robot yang mengaku ngaku dokter ini. Kuberanikan diri untuk melihat kearah wajahnya. Aku baru sadar bahwa jambang yang tumbuh lebat ketika pertama kali-atau kedua sebenarnya- bertemu dicukur tipis menyisakan rambut rambut halus yang cocok sekali dengan bentuk wajahnya. Rambutnya yang sudah banyak putih berombak rapih karena gel rambut yang aku sadar menjadi ciri khas aroma tubuhnya. Dagunya yang tajam dan rahangnya yang kokoh membentuk siluet seolaholah tidak mau diganggu. Hidungnya yang tidak terlalu mancung namun pas sekali seperti botol bertemu tutupnya di wajahnya. Dari frame kacamatanya aku menilai bahwa barang barang yang ia pakai bukanlah barang yang bisa disebut murah. Aku baru tersadar sekarang meskipun ia menghadap ke depan bahwa ia bisa dibilang tampan sekali.

Terlalu asik memperhatikan wajahnya dan membayangkan-nggak kir nggak, lu gaboleh bayangin yang aneh aneh-hingga aku tidak sadar bahwa kami telah sampai. Aku mengenali tempat ini, ini adalah Rumah Sakit Swasta paling mahal dan lengkap yang ada dikotaku. Aku menginjakkan kaki disini jika hanya ada temanku yang sakit, tidak pernah berani untuk berobat disini dikarenakan biayanya yang pasti mahal. Aku turun dengan kikuk, tidak tau harus berbuat apa.

"Dok saya ga mampu bayarnya kalo di psikiater sini, biasanya aja saya pake BPJS di rs umum biar gratis"

"Gaada yang nyuruh kamu bayar" aku tertegun dengan pertanyaannya, dan dia-dengan tibatiba seperti biasa- menyentak tanganku ke genggamannya dan menarikku.

Banyak dokter dan perawat yang memperhatikan kami berdua. Rata rata dari mereka memberikan senyum, menyapa dan bahkan menunduk segan pada orang yang menarik dan menuntun tanganku ini. Aku hanya bisa menunduk malu karena jelas jelas aku seperti kucing liar yang nakal dan dipaksa pulang. Kami sampai di ruangan psikiatri, kulihat beberapa orang , semuanya berdua bahkan lebih sedang duduk menunggu didalam keheningan. Mereka gelisah seolah olah takut terjadi apa apa. Banyak teriakan dan tangisan yang berasal dari ruang anak. Meskipun dilengkapi ruang bermain, namun ruang itu kosong, sunyi menunggu untuk dimainkan dan menimbulkan perasaan janggal untukku. Aku duduk dan Dokter Abimana melakukan seluruh proses adminstrasi untukku-meskipun aku beradu argument terlebih dahulu bahwa aku menolak diurusi seperti anak kecil-. Dokter abimana menyodorkan susu cokelat dingin dan setelah menyuruhku untuk menghabiskannya, ia sibuk dengan Laptopnya. Aku yang biasanya suka dengan keheningan jika berdua dengan orang merasa harus bicara.

Gairah Tak BiasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang