D-6

4.1K 261 44
                                    

Telfon berdering memekakkan telinga membuatku terbangun, kulihat sinar matahari yang baru terbit menyeruak memasuki kisi kisi jendela kamarku dan aku terbangun dengan malas karena harus bangun pagi pagi di hari libur. Hari ini hari rabu namun aku sedang tidak ada kuliah karena dosen pengajarnya sedang sakit dan tidak ada penggantinya- apakah para dokter begitu sibuk sehingga jika satu orang sakit tidak ada penggantinya?- kulihat nama yang tertera adalah mama, aku otomatis mengangkatnya dan berusaha menutupi suara mengantukku.

"Halo ma" kataku sambil berjalan kekamar mandi untuk membantuku bangun.

"Rana kamu kok ga nelfon nelfon Mama sih" suara diujung sana ketara sekali pura pura ngambeknya.

"Kan kita Wa-an setiap hari ma" kataku mengeles, yah aku emang agak durhaka karena jarang menelfon mama ku meskipun aku setiap hari chatan dengannya.

"Yah kan Mama kangen suara Rana, kok kamu ga pulang pulang" pertanyaan ini adalah pertanyaan yang paling sulit kujawab. Belum sempat aku menjawabnya terdengar suara ketukan pintu, hell aku tidak bisa tenang barang sedikit saja, aku membukakan pintu dengan tangan kiri dengan tidak fokus, karena meladeni mamaku yang ngambek karena aku tidak pulang pulang.

Wajah Abimana yang kaku terpampang didepanku.

"Kok lu disini?!" kataku otomatis masih tersambung di telfon dengan mamaku.

"Siapa itu Kir? Kara ya" suara mamaku begitu keras sehingga tidak mungkin tidak Abimana tidak mendengarnya. Abimana mengangguk kecil dan tanpa kusuruh masuk kekamaku dengan hening.

"Engga ma, eh iya ma iya tau nih Kara muncul pagi pagi, katanya mau ngajak sarapan" kataku dengan terbata bata, Mama dan Abangku tau kalau aku jadian dengan Kara namun belum tau hubungan itu putus secepat kilat menyambar bumi.

"Mama mau liat calon mantu mama dong" kata Mama ku dengan seenaknya dan ia langsung mengaktifkan videocall, dengan panik aku buru buru menutup kamera hapeku dengan tanganku.

"Jaringan Rana jelek ma kalau vidcall udah telfon aja" kataku bebohong dengan cepat "Mama apa kabar, abang apa kabar kenapa nelfon dari tadi tentang Rana mulu" kataku dengan berbisik, aku ingin keluar agar tidak terdengar dengan Abimana, namun sekarang ada bapak kosanku dan tetangga tetangga yang sedang ngobrol sambil membersihkan motor mereka masing masing, dan aku tau bapak kosanku itu tukang nguping aku benar benar sudah pasrah dengan pendapat mereka tentangku karena pasti mereka melihat Abimana masuk kemari.

"Mama baik, Abang dapet proyekan pemotretan untuk salah satu merek gitu, gantiin temennya yang sakit. Doain aja dia ditawarin netep disana, kasian dia kerja di bengkel sampe malem trus gajinya kecil-" kata mamaku dengan sedih. Suara Mamaku benar benar keras sekali di telfon dan aku takut Abimana mendengarnya, aku ingin mengambil headsetku agar hanya aku yang mendengarnya ketika tangan Abimana menepisku.

Dia menggeleng dan mengangguk, mengisyaratkan ingin ikut mendengar juga.

Aku memandangnya dengan heran, namun aku tidak jadi mengambil headset, "Ran kamu kok bisa kirim uang segitu, itu lumayan banyak, kamu menang lomba lagi?" kata Mamaku. Aku menatap Abimana dengan wajah memerah, jelas dia mengerti kalau uang yang ia kasih setiap bulan kukirimkan untuk keluargaku.

"Rana jadi kontributor bulanan majalah gitu ma, lumayan uangnya, jadi semuanya Rana kirim ke Mama" kataku berbohong lagi.

"Simpen aja untuk kamu Ran, Mama cukup kok sama Abang disini" jelas jelas itu bohong, aku tau penghasilan Abang pas pasan dan Toko Roti Mama selalu sepi.

"Gapapa kok untuk Mama" kataku menahan sedihku. Setelah beberapa obrolan tentang kabarku dan kucing peliharaan baru yang Mama pungut dari jalan, akhirnya Mama menutup telfonku setelah memaksaku berjanji untuk mengajak Kara kerumah.

Gairah Tak BiasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang