BAB 15

22.3K 1.1K 18
                                    

Tidak terasa, hari ini adalah hari kepulanganku ke Surabaya. Menghabiskan beberapa hari dengan Bang Faiz membuatku menjadi enggan untuk pulang, terlalu rindu dengannya. Ia mengantarku ke stasiun dengan baju casualnya. "Bang, adek pulang dulu ya, jaga kesehatan, jangan ngerokok,” ucapku begitu aku akan check in.

"Iya cerewet," balasnya. Selalu seperti itu, perhatian yang selalu kuberikan pasti ia balas dengan kata cerewet, membuatku mencibirnya dalam hati. "Jaga kesehatan ya," lanjutnya sambil memelukku. Ah, Bang Faiz, aku pasti akan merindukanmu lagi.

"Pasti."

“Abang minta alamat sampean yang di Surabaya," ucapnya sambil menyodorkan ponselnya. Aku mengangguk menerima ponselnya dan mengetikkan alamat ndalem. "Insya Allah deket-deket ini Abang pulang ke Jombang, sampean di rumah Jombang aja ya, nanti Abang jemput," jelasnya.

"Ashiiap," ucapku sambil hormat. "Udah Bang, adek pulang. Assalamu'alaikum, dadah Abang," pamitku kemudian mencium punggung tangannya.

"Waalaikumussalam, hati-hati," pesan Bang Faiz, aku hanya mengacungkan jempol sebagai jawaban.

Akhirnya sampai juga aku di stasiun Semut. Tidak tahu kenapa, kemanapun aku pergi, aku selalu merasa perjalanan antara pulang dan berangkat, pasti perjalanan pulang terasa lebih cepat ketimbang saat berangkat. Padahal jarak yang ditempuh sama.

Pada akhirnya, aku mendudukkan diriku di kursi yang tersedia, beberapa kali mendongakkan kepala saat seorang laki-laki lewat di depanku, barang kali itu Gus Akhya. Kemana Gus Akhya? Ia sudah berjanji untuk menjemputku. Aku pun sudah beberapa kali meneleponnya, tapi tidak satu pun yang terhubung. Lama aku menunggu, aku memutuskan untuk pulang ke ndalem dengan taksi saja. Sebenarnya bukan kali ini saja teleponku diabaikan, sejak aku sampai di Jakarta pun ia tidak mengangkat telepon dariku. Pun juga dengan chat yang kukirimkan, tidak ada balasan darinya. Hanya centang yang  berubah warna saja. Ada apa dengannya? Apa aku berbuat salah lagi?

Sesampainya di pondok, aku langsung meminta tolong pada Cak Hafidz yang kebetulan sedang lewat untuk membawakan barang bawaanku yang lebih banyak ketimbang saat aku berangkat.

"Taruh di situ aja Cak, maaf ngerepotin," ucapku pada Cak Hafidz.

"Mboten ngerepotin kok Ning, ya sudah saya pamit dulu. Assalamu'alaikum," pamitnya.

"Waalaikumussalam," jawabku kemudian masuk ke dapur. Kulihat Umi tengah membuat sesuatu.

"Assalamu'alaikum Umi," salamku pada beliau.

"Waalaikumussalam, baru nyampek toh Nduk?"

"Enggeh, Mik."

"Ya sudah, Sampean bersih-bersih dulu gih terus istirahat," titah beliau padaku.

"Enggeh, Mik." Aku mengangguk menurut kemudian pergi ke kamar.

Badanku terasa lengket semua, pun dengan bau kecut yang menempeli tubuhku. Segera kubersihkan tubuhku. Setelahnya kubaringkan tubuhku di kasur, memejamkan mata merasakan tubuhku yang masih terasa lelah.

***

Gus Akhya membuka pintu kamarnya, matanya terkunci begitu melihat Fitri yang tengah tertidur dengan pulasnya. Tiga hari tidak bertemu, membuat rasa rindu yang menyelimuti hatinya membuncah begitu saja. Berjalan mendekati Fitri tanpa suara, Gus Akhya berniat ingin mengecup dahi Fitri meskipun hanya sebentar. Tapi keinginannya terhenti begitu saja saat bayangan Fitri memeluk laki-laki lain tempo hari muncul di kepalanya. Urung melanjutkan keinginannya, Gus Akhya menarik tubuhnya menjauh dari Fitri dan memilih untuk segera membersihkan dirinya.

Tidak bisa dipungkiri, Gus Akhya memang merindukan Fitri. Tapi lagi-lagi karena kejadian itu, ia harus bisa menahan dirinya dari Fitri.

Mendengar suara gemericik air dari dalam kamar mandi, Fitri perlahan membuka matanya. Hal pertama yang ia lihat adalah Gus Akhya yang keluar dari dalam kamar mandi. "Gus," panggil Fitri sambil bangun dan berjalan ke Akhya. Tidak ada respons dari Akhya, ia melewati Fitri begitu saja tanpa menoleh sedikit pun.

Insya Allah Gus [Repost]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang