BAB 5

27.6K 1.5K 18
                                    


Selamat malam....

Selamat membaca, semoga suka ya🤗💜💜

____________________________________

Pada akhirnya hari itu pun tiba, saat dimana tanggung jawab ayahku berpindah ke tangan suamiku nanti. Hari yang sebenarnya tidak kuinginkan sama sekali. Tapi ya sudahlah, jika ini memang jalannya, bagaimana aku bisa menolak? Memasuki dapur, aku melihat semua orang tengah berjibaku dengan tugasnya masing-masing. Tidak ada yang terlihat bersantai-santai seperti biasanya. Bahkan Umi Ida sekalipun.

"Assalamu'alaikum Umi," salamku sambil mencium tangan beliau.

"Waalaikumussalam," balas Umi sambil tersenyum.

"Ibu dimana Umi?"

"Itu lagi motongin sayur." Umi Ida menunjuk ke arah ibu dengan dagunya.

Aku mengangguk paham. “Terima kasih ya, Umi. Fitri ke Ibu dulu kalau begitu,” pamitku yang hanya dijawab dengan anggukan disertai senyuman khas beliau.

Beringsut pindah, aku berjalan mendekat ke ibu dengan niat ingin membantu. Namun belum sampai aku mengutarakan maksudku, ibu langsung melayangkan protesannya. "Sampean mau ngapain disini? Balik ke kamar gih!”

“Fitri kan mau bantu-bantu Bu, ndak enak kalau Fitri cuma ongkang-ongkang kaki di kamar,” ucapku merasa tidak enak. Bukankah ini juga acaraku, jadi wajarkan kalau aku ingin membantu?  Bukannya mengizinkan, ibu malah mengusirku dari dapur.

"Ndak usah Fit, lebih baik balik ke kamar, sebentar lagi periasnya datang.” Ibu tetap tidak mengizinkanku untuk membantu, beliau berdalih kalau sebentar lagi periasnya akan datang untuk meriasku.

"Belum datang kan periasnya? Fitri mau bantu dulu.” Bukan Fitri namaku kalau tidak keras kepala, aku tetap menolak untuk kembali ke kamar, aku bisa saja kembali ke kamar saat periasnya datang, toh aku juga sudah mandi.

"Fiit." Ibu mendesis kesal. Kalau sudah begitu, akau hanya bisa menurutinya saja. Sekembalinya aku ke kamar, aku mendudukkan diriku di pinggiran ranjang. Berkali-kali berusaha meyakinkan diriku bahwa ini adalah keputusan yang tepat. Ya Allah, semoga ini keputusan yang tepat, batinku.

Ketukan pintu membuyarkan semua pikiran yang sedang berkeliaran di dalam kepalaku. Bangkit dari duduk, aku berjalan membuka pintu.

"Ayo masuk Mbak.” Ibu mempersilahkan dua perempuan dibelakangnya untuk masuk ke dalam kamar yang kutempati, kurasa dua perempuan ini lah yang akan meriasku dilihat dari tas yang mereka bawa. Aku tersenyum tipis membalas senyuman yang mereka lontarkan padaku.

“Langsung dimulai aja Mbak." Suara ibu menginterupsi.

"Mulai ngapain?" tanyaku bingung.

"Riasnya.” Ibu terlihat enggan untuk membalasnya, sedangkan aku hanya ber-oh ria saja.

"Jangan menor-menor ya Mbak," pesanku saat Mbak Ratna mulai membasahi wajahku dengan air es. Aku mengetahui namanya saat ia memperkenalkan diri, rekannya bernama Mbak Syaqila.

"Siip," jawabnya sambil mengacungkan jempol.

Aku diminta untuk berbaring di atas ranjang. Sekarang aku hanya bisa berpasrah diri, membiarkan Mbak Ratna melukis sesuka hatinya di wajahku. Entah apa saja yang ia gunakan, aku tidak tahu, yang jelas itu sangat banyak macamnya –menurutku. Bernapas lega ketika Mbak Ratna mengatakan bahwa ia sudah selesai merias. Mbak Syaqila membantuku untuk mengganti baju yang kupakai dengan kebaya putih. Beberapa accecorries tambahan dipakaikan di atas kepalaku sebagai pelengkap.

Insya Allah Gus [Repost]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang