BAB 3

28.4K 1.3K 30
                                    


"Udah siap semua, kan?" tanya ayah sembari membenarkan seatbeltnya.

"Insya Allah, sudah." Hanya ibu yang menjawabnya, sedangkan aku hanya duduk diam di kursi tengah.

"Bismillaahirrahmaanirrahiim."

Ayah mulai menjalankan mobilnya, bergabung dengan ratusan mobil lainnya yang tengah melaju di jalan raya. Aku tidak melakukan apa pun. Hanya melihat ke luar jendela untuk mengusir rasa bosan. Saat ditanya pun aku lebih sering menjawabnya dengan gelengan atau anggukan. Aku berubah menjadi anak yang pendiam sejak tadi malam. Pikiranku terus berkelana tanpa mengetahui tujuannya.  Memikirkan dia,  dia yang telah melamarku tiga bulan lalu. Salah satu pengurus pondok putra di pesantrenku dulu. Ya, kuakui aku memang menyukainya. Satu tahun terakhir ini rasa itu tumbuh dengan sendirinya tanpa kupupuk sejak pertemuanku dengannya di dapur ndalem saat itu.

"Mbak."

"Enggeh Cak , wonten nopo ?"
(*Ada apa?)

"Nedi tolong damelaken kopi dua sama teh satu ."
(* Minta tolong buatkan kopi dua sama teh satu)

"Oh, enggeh, sebentar."

"Enggeh."

Aku langsung merebus air untuk dijadikan minuman seperti yang ia minta, tanganku sudah terbiasa untuk membuat teh dan kopi.

"Ini Cak," ucapku sambil menyodorkan nampan.

Entah getaran apa yang merasuki jantungku, gelenyar aneh langsung menghinggapi seluruh tubuhku, pun dengan reaksi jantungku yang berdetak dua kali lebih cepat.

"Ekhem." Seseorang berdehem. Refleks aku segera menarik tanganku dari nampan itu.

"Ma-maaf, Cak."

"Saya juga minta maaf, kalau gitu, saya pamit dulu."

Sentuhan itu membuatku terus memikirkan Cak Bagus. Entahlah, mungkin ini hanya kebetulan, batinku tidak menanggapi serius.

"Mbak Rosi, itu tadi siapa?" tanyaku pada Mbak Rosi yang sudah mondok lebih lama dariku.

"Oh, itu tadi Cak Bagus."

"Cak Bagus?"

"Enggeh, kenapa? Sampean suka?"

"Ndak lah Mbak, kok ndak pernah lihat aja gitu."

"Gimana mau lihat, wong Cak  Bagus tiga tahun terakhir diutus* Abah untuk ngabdi di pondok rayi** beliau."
(*disuruh, **adik)

"Oalah, gitu toh. Ya udah aku mau balik dulu ke kamar."

"Iya, awas jangan ngelamunin Cak  Bagus lho, entar kesandung semut baru tahu rasa." Aku hanya menggelengkan kepalaku mendengar godaan Mbak Rosi.

Tidak terasa, aku sudah sampai di pondokku, pondok Al-Hikmah. Aku, ayah dan ibu langsung menuju ke ndalem untuk sowan  terlebih dahulu.  Suasana pesantren pun sudah sangat berbeda. Sudah banyak tenda-tenda yang berdiri, itu membuatku gugup tak karuan. Padahal ini masih tendanya saja lho, belum hari H-nya. Ingin rasanya aku lari keluar pesantren meninggalkan pernikahan yang sudah di depan mata. Jika boleh jujur, aku bahkan belum siap sama sekali untuk menikah di umurku yang masih delapan belas tahun. Namun jika aku melakukannya, itu hanya akan mempermalukan orang tuaku dan diriku sendiri. Aku pun masih cukup waras untuk menolak predikat anak durhaka dari orang tuaku.

"Assalamualaikum." Ayah menguluk salam.

"Waalaikumussalam, Masya Allah, calon mantu Umi sudah datang rupanya," sambut Umi sambil tersenyum ria. Mendengar itu aku hanya tersenyum membalasnya, senyuman yang kupaksakan, Umi Ida kemudian mempersilahkan kami untuk  masuk ke dalam.

Insya Allah Gus [Repost]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang