BAB 22

23.1K 1.2K 35
                                    

Tergesa-gesa aku masuk ke kamar, kututup pintu dan tidak lupa untuk menguncinya. Benar bukan? Seseorang pasti akan memergokiku dengan Gus Akhya. Meskipun itu bukan masalah karena kami sudah sah, tapi malunya itu lho. Apalagi tadi kudengar Ning Ari menyindir Gus Akhya, 'Bang, kamar masih ada. Kenapa malah milih di dapur, sih?' ucap Ning Ari tadi yang samar-samar masih bisa kudengar saat aku berjalan kembali ke mari. Astaghfirullah, memang ya Gus Akhya itu.

Aku terus saja menggerutu, pasti akan malu sekali nanti jika bertemu dengan Ning Ari. Tapi meski begitu, semuanya sudah terlanjur terjadi. Sebanyak apapun aku menggerutu tidak bisa mengulang waktu. Kudengar pintu kamarku diketuk, mungkin ini Gus Akhya.

"Assalamu'alaikum, Fitri." Benar tebakanku. Gus Akhya menyusulku ke mari. "Fit, buka pintunya," pintanya.

"Enggak mau, Gus," sahutku.

"Kok enggak mau?"

"Malu saya, Gus."

"Lebih malu lagi kalau saya teriak-teriak minta dibukain pintu," ucapnya.

Benar juga, aku melangkahkan kakiku ke arah pintu, memutar kunci ke arah kanan. Membuka pintu aku melihat Gus Akhya dengan wajah datarnya, ia melangkah masuk melewatiku begitu saja. Melihat itu aku semakin kesal dibuatnya, ia terlihat santai sekali, seperti tidak ada kejadian apapun.

"Ish, Gus. Kan Fitri udah bilang tadi, Gusnya sih ngeyel. Katanya umi, abi sama Ning Ari lagi keluar. Lah tadi, tiba-tiba Ning Ari muncul. Ya Allah, rasanya itu kayak maling kepergok tahu, enggak? Malu saya." Sepertinya aku berbicara terlalu banyak, kulihat wajah Gus Akhya yang masih lempeng-lempeng saja.

"Udah?" tanyanya. Aku hanya mengangguk, "ya udah selesai."

Mataku langsung membelalak mendengarnya, semudah itu? Aku terus saja melihat ke arahnya, tidak sedikitpun kualihkan atensiku darinya. Ia berbalik menatapku, mungkin ia merasa seperti ada yang mengawasinya. Dahinya berkerut seakan bertanya 'kenapa? Yassalam.

***

Satu minggu berlalu, untungnya Ning Ari tidak pernah membahas kejadian itu di depan abi dan umi. Pagi ini kami tengah makan pagi, yang diusahakan untuk selalu makan bersama. Mataku menatap ke arah sekeliling, kulihat umi yang baru saja menyelesaikan makannya, beliau menggumamkan hamdalah.

"Fitri." Aku mendongak saat suara umi memanggilku.

Aku tersenyum pada beliau. "Dalem, Mik?"

"Besok ikut Umi, ya!" pintanya.

"Ten pundi, Mik¹?"

Beliau mengulas senyum padaku, membuatnya terlihat semakin cantik di usianya yang sekarang. Bisa dibilang umi itu awet muda. "Ke rumahnya temen Umi, sambang bayi."

Aku menatap Gus Akhya yang duduk di depanku, ia mengangguk sekali seakan tahu aku akan meminta izin darinya. Padahal aku belum bertanya. Ini juga yang membuatku sering bingung. Sering sekali ia menjawab atau melakukan hal yang kuminta padahal aku belum memberitahunya sama sekali.

Aku mengiakan permintaan umi. Beliau beralih menatap pada Gus Akhya, mengatakan hal yang sama. Umi meminta agar Gus Akhya mengantar kami besok. Gus Akhya yang kebetulan memang cuti hanya mengangguk setuju.

"Biar sampean sama Fitri cepet ketularan punya momongan."

Uhuk! Uhuk!

Aku sukses tersedak saat mendengar ucapan umi barusan. Gus Akhya 'menyentuhku' saja belum, jadi bagaimana aku bisa mengandung? Maksudku, Gus Akhya tidak pernah membicarakan hal ini padaku, ia terlihat anteng-anteng saja untuk masalah yang satu ini. Aku menerima gelas yang disodorkan Gus Akhya dan meminumnya.

Insya Allah Gus [Repost]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang