BAB 21

24.2K 1.2K 31
                                    

Tidak terasa, waktu berlalu begitu cepat. Masalah datang silih berganti, bukan masalah yang besar memang, tapi mampu memberikan bumbu-bumbu dalam pernikahan kami. Dari masalah itu juga aku belajar untuk menyikapi semua hal dengan kepala dingin. Terkadang aku bersikap labil padanya, lebih sering bersikap layaknya anak kecil yang sering merajuk. Untungnya ia sangat sabar menghadapiku, beruntungnya aku karena ditakdirkan memilikinya.

"Ehm ... Fit." Gus Akhya memanggilku, ia mengubah duduknya menjadi bersila—yang sebelumnya selonjoran. Kami duduk di atas karpet abu-abu tua yang digelar di lantai kamar. Terkadang ia lebih suka duduk di lantai dari pada di sofa, seperti sekarang ini.

"Iya?"

"Saya ada tebak-tebakan, nih."

Dahiku mengernyit. "Apa?"

"Tapi nanti kalau jawabnya salah ada hukumannya, ya?" ucapnya sedikit memaksa.

"Ya udah apa tebakannya?"

"Ikan. Ikan apa yang disukai banyak orang," tanya Gus Akhya, bibirnya membentuk seringaian licik yang pastinya ada maksud di balik itu.

"Ikan yang disukai banyak orang?" beoku, aku berpura-pura berpikir tapi di saat yang bersamaan aku juga memikirkan jawabannya.

"He'em," sahut Gus Akhya antusias, ia terlihat senang sekali.

"Banyak. Ada ikan gurame, mujair, nila, ban–"

"Yeh salah. Gitu aja enggak tahu," potong Gus Akhya cepat saat jawaban yang kuberikan jauh dari ekspektasinya, mungkin. Memang benar, jangan terlalu tinggi dalam berekspektasi, karena jika kenyataannya tidak seperti yang ada di pikiran. Kita akan terjatuh dengan keras, juga merasakan sakit karenanya.

"Jawabannya apa?"

"Ikan mas," jawab Gus Akhya penuh kemenangan, ia tersenyum dengan bangganya.

"Ikan mas?"

"He'em, ikan mas yang ada di toko perhiasan," ucapnya enteng.

"Itu EMAS, Gus. EEEMAAS," balasku dengan wajah kesal, gemas dengan suamiku ini. Semua orang juga pasti suka dengan benda satu itu.

"Udah ganti, ya?"

"Dari dulu namanya emang emas kalau di toko perhiasan itu mah." Mataku melebar saat menjawabnya, apa ia tidak melihat wajahku yang sudah kesal karena guyonan recehnya. Ia semakin terkekeh.

"Kalau huruf 'e' di kata 'emas' dihilangin, jadinya gimana?"

"Mas," jawabku.

"Kalau disambung sama nama saya?"

"Mas Akhya," jawabku cepat, semua orang yang ditanya juga pasti akan menjawabnya seperti itu. "Eh!!" Aku menutup mulutku ketika sadar apa yang baru saja aku ucapkan.

Gus Akhya terkekeh melihatnya. "Dalem, Sayang?" balas Gus Akhya menggoda, tangannya terangkat begitu saja mengelus kepalaku membuatku kian malu.

"Eh, enggak gitu maksudnya, Gus. Beneran." Aku mengacungkan dua jari yang membentuk huruf 'V' dengan raut wajah serius, tapi lagi-lagi aku tidak bisa menebak apa yang ada dipikiran Gus Akhya, ia malah tertawa.

"Maksudnya gitu juga enggak apa-apa, malah seneng saya." Gus Akhya menatapku dengan tatapan jahilnya. "Diih, pipinya merah kebanyakan pakai blush on, nih," goda Gus Akhya semakin gencar.

"Enggak, Gus. Apaan sih."

"Karena sampean salah jawab, hukumannya sampean harus panggil saya kayak yang tadi," ucap Gus Akhya sambil menyeringai. Benarkan dugaanku sebelumnya? Pasti ada sesuatu yang ia inginkan. Ya, bukan keinginan yang susah untuk kulakukan, hanya saja aku masih belum terbiasa. Ia memintaku untuk memanggilnya dengan sebutan 'mas'.

Insya Allah Gus [Repost]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang