BAB 13

24.1K 1.2K 29
                                    

Tidak terasa, waktu berjalan begitu cepat. Besok adalah Hari-H haul. Senang sekali rasanya, persiapan sudah hampir selesai, tinggal finishing saja. Para panitia sudah bekerja keras untuk ini, aku sangat berterima kasih pada mereka. Pun hari ini, aku akan melakukan check in akhir dari semua panitia, dibantu dengan Cak Danu yang menjadi penanggung jawab panitia dari santri putra. Selesai dengan check in akhir, aku kembali ke ndalem. Mencatat beberapa barang yang harus dibeli nanti, berkali-kali aku mewanti-wanti diriku untuk selalu teliti. Aku tidak ingin membuat umi kecewa karena telah mempercayakan hal ini padaku.

Kutolehkan kepalaku ke samping saat merasa seseorang duduk di sampingku. Benar saja, kudapati Gus Akhya duduk di sampingku dengan tenang. Manik cokelatnya menelusuri seluruh penjuru dapur. Entah apa yang ia cari.

"Fitri," panggilnya.

Aku meliriknya sekilas. "Jangan duduk di bawah, nanti kotor sarungnya," ucapku tanpa menoleh padanya.

"Enggak apa-apa, nanti biar saya cuci sendiri," jawabnya. Dia selalu bisa membalas ucapanku.

"Nek gak onok opo-opo balik o, ojo sumpek-sumpek i pawon!*" Kudengar umi menggerutu pada Gus Akhya. Aku terkikik mendengarnya.

Gus Akhya beranjak dari duduknya setelah aku mengiakan permintaanya, 'tak tunggu di kamar' begitu katanya tadi. Aku mengedikkan bahu dan segera membuatkan apa yang ia minta tadi.

"Gus, tolong bukain pintunya," ucapku begitu sampai di depan pintu kamar. Kedua tanganku memegangi nampan, hingga membuatku tidak bisa membuka pintu sendiri dan meminta tolong padanya. Pintu terbuka dan menampakkan Gus Akhya dengan senyuman manis di wajahnya seperti biasa.

"Ngerepotin, ya?" tanya Gus Akhya setelah aku masuk dan duduk bersebelahan dengannya.

"Ndak, kok. Jenengan makan dulu, saya mau turun lagi. Masih banyak kerjaan," pamitku. Jalanku terhenti saat tiba-tiba Gus Akhya mencekal tanganku dan menggiringku untuk kembali duduk. "Apa lagi?" tanyaku bingung, semua yang ia sebutkan tadi sudah kubawa ke sini.

"Sampean udah makan?" tanyanya.

"Udah tadi waktu sarapan," jawabku, aku memang sudah makan pagi, tadi. Tapi untuk makan siang aku belum sempat.

"Makan siang?"

"Be–lum."

"Makan dulu sama saya."

"Tapi kerjaan saya belum selesai, Gus," elakku.

"Ada santri-santri yang ngelanjutin," ucap Gus Akhya sambil menyodorkan sesendok nasi di depan mulutku.

"Aaaaa." Ia membuka mulutnya lebar, memberikan contoh untukku.

"Ndak, Gus. Jenengan aja." Aku tetap menolak

"Ya udah, kalau gitu sampean di kamar aja, ndak usah bantuin di dapur," balasnya. Ia memakan sesendok nasi yang ia sodorkan padaku tadi.

"Mesti ngunu**."

"Makanya makan. Aaaa," ucap Gus Akhya. Dengan terpaksa aku menerima suapan darinya, aku tidak bisa makan dengan tenang saat pekerjaanku belum selesai kulakukan.

"Duh, adeknya siapa nih, pinter banget makannya," ledeknya sambil mengacak jilbabku asal. Heran, kenapa dia suka sekali mengacak-acak jilbabku?

***

Tamu-tamu sudah mulai berdatangan. Mulai dari Masyayikh, warga di sekitar pondok dan para wali murid. Suasana pondok terasa kian ramai. Acara dibuka dengan pembacaan ayat suci Al-Quran lalu dilanjutkan dengan membaca tahlil dan istighotsah bersama. Setelah itu diisi sambutan dari Gus Akhya dan mauidhoh hasanah, lalu ditutup dengan doa. Acara haul telah usai, semua orang bernapas lega karena acara berjalan dengan lancar, meskipun tadi ada kendala-kendala kecil. Ini yang paling kutunggu dengan teman-teman saat masih mondok dulu. Kami akan makan bersama dalam satu wadah, itu adalah salah satu hal paling menyenangkan yang kurasakan dulu.

"Alhamdulillah acaranya lancar," ucap Gus Akhya sambil membaringkan kepalanya di atas pahaku, ia terlihat lega sekali.

"Iya. Alhamdulillah."

"Udah ya, saya mau ke bawah. Nemuin ibu sama ayah," ucapku sambil memindahkan kepala Gus Akhya.

"Laah, sebentar. Istirahat dulu," ucap Gus Akhya tidak terima.

"Kalau sama jenengan sama aja enggak istirahat. Assalamu'alaikum," salamku lalu buru-buru keluar dari kamar sebelum Gus Akhya menahanku lagi seperti kemarin.

***

Sudah tanggal lima belas saja, semua barang-barangku sudah masuk ke dalam mobil. Iya, hari ini aku akan berangkat ke Jakarta. Selamat tinggal Surabaya, tapi ini hanya sementara waktu. Di sana pun aku tidak terlalu lama, hanya tiga hari, itupun sudah termasuk pulang perginya.

"Udah siap semua?" tanya Gus Akhya saat kami menuruni anak tangga.

"Udah."

"Ada yang ketinggalan mungkin?" tanyanya lagi.

"Mmm ... enggak kayaknya," jawabku.

"Abi ... Umik, Akhya berangkat dulu, ya," pamitnya pada abi dan umi.

"Iyo. Ati-ati yo, Le," pesan Umi Fatma.

"Enggeh, Mik. Assalamu'alaikum," salam Gus Akhya setelah menyalimi abi dan umi.

Butuh waktu sekitar tiga puluh menit untuk sampai ke stasiun, Gus Akhya menurunkan barang-barangku. Tidak banyak, hanya tas ransel dan juga sling bag yang saat ini kusampirkan di pundak kananku.

"Maaf ya, saya ndak bisa nememin sampean," ucapnya padaku. Aku tersenyum lembut padanya.

"Iya ndak apa-apa, Gus. Gusnya jangan lupa makan, jangan suka lembur, sehat-sehat ya," balasku.

"Iya," jawabnya singkat kemudian mengecup dahiku singkat. Untung saja tadi Cak Yusuf izin untuk pergi ke toilet, jadi dia tidak tahu apa yang baru saja gusnya lakukan padaku. Bisa malu aku nantinya.

"Ya udah. Assalamu'alaikum," ucapku lalu mencium punggung tangannya.

"Wa'alaikumussalam, hati-hati." Aku tersenyum tipis mendengar jawaban Gus Akhya.

Tidak sampai satu jam aku menunggu, keretaku sudah datang. Segera kuangkat tas ransel bawaanku lalu masuk ke dalamnya. Aku meletakkan tas ransel dibantu seorang bapak-bapak yang duduk di depanku. Tak lupa, aku berterimakasih padanya. Kukeluarkan ponselku dari dalam tas slempangku, kuketikkan pesan chat pada Gus Akhya, memberitahunya kalau sebentar lagi kereta yang kutumpangi akan berangkat. Iya, seperti yang ia katakan padaku beberapa hari yang lalu sebelum haul, ia berjanji akan membelikanku ponsel. Satu hari setelah acara haul terlaksana, Gus Akhya mengajakku untuk membeli ponsel, ia menyuruhku untuk memilih sendiri ponsel yang kuinginkan.

Setelah duduk di kereta lebih dari sepuluh jam, akhirnya kereta yang kutumpangi berhenti di Stasiun Senen dengan selamat. Perjalanan kali ini begitu menyenangkan untukku. Aku merasa bebas seperti sebelum menikah. Bang Faiz sudah kutelepon tadi, katanya ia sudah menungguku di pintu kedatangan, semakin tidak sabar aku untuk bertemu dengannya. "Alhamdulillahirabbil alamiin," ucapku begitu keluar dari kereta.

Kulambaikan tanganku tinggi-tinggi saat mataku menangkap seseorang yang benar-benar kurindukan. Ia terlihat gagah dengan balutan baju lorengnya. Senyumku tidak pudar sama sekali, aku langsung memeluknya dengan erat. Lama memeluknya membuatku sampai meneteskan air mata. Kuhiraukan tatapan mata yang tertuju pada kami.

"Loh kenapa nangis," tanya Bang Faiz panik.

"Kangen Abang," ucapku semakin mengeratkan pelukannya.

Bang Faiz terkekeh mendengar ucapanku barusan, aku hanya mengungkapkan apa yang kurasa. Mungkin itu terdengar lucu baginya. "Abang juga kangen, udah jangan nangis lagi," ucap Bang Faiz sambil menyeka air mataku.

"Udah, yuk. Ke rumah dulu, jangan nangis di sini. Malu diliatin banyak orang." Bang Faiz selalu bisa menenangkanku, aku hanya mengangguk.

Rindu. Satu kata yang sederhana, penyakit yang dapat menyerang siapa saja, tidak pandang bulu. Hanya sebuah pertemuanlah yang bisa mengobati kala ia melanda. Terima kasih Ya Allah, kini rinduku telah terobati.

____________________________________

(*) Kalau enggak ada apa-apa, kembali. Jangan penuh-penuhi dapur

(**) Selalu seperti itu


Insya Allah Gus [Repost]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang