BAB 10

26.2K 1.3K 18
                                    

"Saya mau tanya, perasaan sampean ke saya sekarang itu seperti apa?" tanya Gus Akhya tiba-tiba. Aku yang sedang memasukkan baju ke dalam lemari pun terdiam, ini yang aku takutkan. Aku belum tahu dengan pasti bagaimana perasaanku saat ini padanya, aku hanya terdiam tidak mengeluarkan suara bingung menjawabnya. Pernikahan kami memang sudah berjalan satu bulan, tapi untuk menumbuhkan suatu perasaan itu tidak bisa dipaksakan bukan? Kalau sekarang aku mengatakan telah mempunyai rasa padahal tidak—mungkin? Itu akan membuatnya lebih sakit jika ia tahu kebenarannya. Aku butuh waktu untuk meyakinkan diri akan perasaanku untuknya. Kudengar ia menghela napas panjang kemudian pergi meninggalkanku yang masih terdiam. Kulihat kekecewaan di matanya saat netra kami tidak sengaja bertemu.

Sejak Gus Akhya bertanya tentang perasaanku padanya, kurasa ia sedang menghindariku. Ia menjadi lebih pendiam saat bersamaku. Berulang kali aku berusaha untuk berbicara dengannya, bukan mengenai hal yang serius. Meski begitu ia hanya menjawabnya dengan singkat, atau bahkan tidak menanggapi sama sekali. Biasanya ia yang melakukan ini. Aku kehilangan dirinya hari ini, aku mengaku memang salah. Tapi untuk urusan hati aku tidak ingin terburu-buru dalam mengambil jawaban.

Saat makan bersama Gus Akhya bersikap seperti biasanya, ia tidak menunjukkan lagat-lagat seperti orang yang sedang marah pada semua orang yang ada di sana. Aku pun melayaninya seperti biasa. Perubahan sikapnya kembali kurasakan saat ia berangkat ke kantor, jika biasanya ia akan mengulurkan tangannya untukku salami, kali ini ia tidak melakukannya. Ia mengabaikan diriku, bahkan saat aku mengulurkan tanganku untuk menyaliminya, ia berlalu begitu saja tanpa meninggalkan kecupan singkat di dahiku sebagaimana biasanya. Baru kali ini aku diabaikan olehnya, di dalam sana sesuatu terasa sakit dan tidak terima saat ia mengabaikanku.

***

Kukira ia akan bersikap seperti biasa saat ia pulang dari kantor, tapi tidak. Ia tetap saja tak mengacuhkanku. Salahku sendiri tidak mendengarkan Bang Faiz dulu. Kalau sudah begini apa yang harus kulakukan? Aku sudah membujuknya dari tadi. Ingin bercerita pada umi, tapi kurasa itu bukan ide bagus. Ini masalah rumah tangga kami, rasanya tidak pantas jika aku mengumbarnya, bahkan pada orang tua Gus Akhya atau orang tuaku sendiri.

Aku beranjak mendekati Gus Akhya dan duduk di sebelahnya, ia bahkan tidak menoleh saat kupanggil namanya. "Gus," panggilku. Tetap saja ia tidak menoleh. Kuberanikan diriku untuk menepuk pundaknya, ia hanya melirik sebentar lalu kembali fokus dengan ponselnya. Aku menghela napas.

"Jenengan mau dibuatkan apa? Biar saya buatkan," ucapku berusaha membujuknya. Tapi lagi-lagi ia mengabaikanku. Aku bangkit dari dudukku, tersenyum tipis meski ia tidak melihatnya. Berjalan ke luar dari kamar aku menuju ke dapur khusus ndalem, aku membuatkannya kopi. Entah akan diminum atau tidak nantinya, yang penting ini usahaku untuk membuatnya kembali seperti kemarin. Selesai membuat kopi, aku kembali ke kamar meski sedikit ragu. Tidak kudapati Gus Akhya di sana. Di mana dia? Di kamar mandi pun tidak ada. Gus Akhya benar-benar menghindariku, secara tidak langsung dia juga menyiksaku dengan keterdiamannya. Kulirik daun pintu terbuka perlahan, ia menatapku dengan tajam. Aku menundukkan kepala, rasanya aku ingin menangis sekarang, tapi tidak di depannya. Aku lebih suka dirinya yang banyak bicara, bukan yang seperti ini. Bukankah kami bisa membicarakannya dengan baik-baik tanpa harus mendiamiku seperti ini? Tapi kenapa ia lebih memilih untuk mendiamiku. Ingin bersuara pun aku sudah takut lebih dulu dengan tatapan tajamnya. Aku menghela napas berat.

"Gus," panggilku, berharap ia akan merespon panggilanku.

"Hm."

Tidak apa, bersyukur saja ia sudah mau meresponku meski hanya sebuah deheman. Sedikit lega aku mendengarnya. Aku tersenyum tipis padanya, aku juga akan meminta maaf padanya. Mungkin dengan begitu ia mau bicara denganku lagi.

"Gus, saya minta ma–" Belum selesai aku berbicara, suara umi tiba-tiba menginterupsi, umi m kami agar segera turun untuk makan malam.

"Enggeh, Mik," sahut Gus Akhya, ia beranjak dari duduknya, keluar dari kamar tanpa mengatakan apapun.

Aku terkekeh menertawakan kebodohanku, sedetik kemudian kekehanku berubah menjadi sebuah isakan, air mataku meluncur begitu saja tanpa kuminta. Kilas balik saat Gus Akhya mendiamiku seharian ini membuat tangisku kian pecah. Sedari tadi aku sudah menahan agar tidak menangis, tapi pada akhirnya hatiku tidak mampu lagi menahan dan menangis adalah caraku untuk mengatakan hal itu. Seharian didiami olehnya membuat moodku memburuk. Jika hanya seperti ini saja aku sudah seperti ini, lantas bagaimana dengan yang dirasakan Gus Akhya saat aku bersikap tidak acuh padanya dulu?

Mendengar suara pintu yang berderit, dengan cepat aku mengusap air mataku. Kupasang senyum andalanku saat ia menatapku dengan alis terangkat satu. "Ndang mudun, wes ditunggu umi sama abi,*" ucapnya. Tanpa repot-repot untuk menungguku ia turun lebih dulu.

Aku ke kamar mandi sebentar sebelum turun, membasuh wajahku agar tidak seperti habis menangis. Bisa ditanyai umi nanti kalau melihat mataku sembab. Aku tersenyum saat sampai di bawah, aku jadi merasa tidak enak karena membuat mereka menungguku. Segera saja aku mengambilkan nasi dan lauk di piring Gus Akhya.

Sempat kudengar tadi, sebelum kembali ke kamar. Abi mengajak umi untuk sowan ke ndalem Mbah Kiai besok. Aku belum tahu siapa yang beliau maksud dengan Mbah Kiai. Mungkin lain waktu saja akan aku tanyakan.

***

Ya, seperti yang diucapkan abi kemarin, beliau dan umi berangkat ke Solo pagi-pagi tadi. Mungkin baru besok atau lusa beliau pulang. Sikap Gus Akhya padaku masih sama seperti kemarin. Pagi ini kami sarapan bertiga, hanya suara Gus Akhya dan Ning Ari yang terdengar di telingaku. Mereka pasti akan mendebatkan suatu hal yang tidak penting. Aku hanya menyimak tanpa niat untuk ikut menimpali. Suasana ndalem terasa sunyi setelah Gus Akhya dan Ning Ari berangkat ke tempat tujuan masing-masing.

Kulirik jam yang menggantung di dinding, sekarang baru jam dua belas siang, samar-samar kudengar deru mobil yang tidak asing lagi bagiku. Aku segera keluar dan menuju ke bawah, menyambut Gus Akhya dengan senyumanku, aku mengulurkan tanganku bermaksud ingin menyalaminya. Senyumku luntur begitu saja saat ia berjalan di depanku, kutarik lagi tanganku. Namun, yang membuatku terkejut adalah seorang perempuan yang baru saja turun dari mobil Gus Akhya. Siapa dia?

Aku menyusul ke dalam tanpa menghiraukan perempuan itu, aku harus menanyakannya pada Gus Akhya. Di mana Gus Akhya? Aku tidak mendapatinya di dalam kamar, pun di dalam kamar mandi. Aku kembali menuruni anak tangga. Pandanganku terkunci pada dua orang di depanku.

"Kamar sampean di sini." Kudengar Gus Akhya berbicara pada perempuan itu. Berbeda dengan sikapnya saat bersamaku, Gus Akhya melemparkan senyumannya pada perempuan itu. Terasa sakit saat aku melihatnya seperti itu.

"Makasih ya, Mas," balas perempuan itu.

Mas? Dahiku berkerut saat perempuan itu memanggil Gus Akhya dengan sebutan 'mas'. Ada hubungan apa di antara mereka berdua? Aku benar-benar tidak menduga jika Gus Akhya sampai membawa seorang pulang ke ndalem karena masalah kemarin. Pikiranku bercabang ke mana-mana.

"Iya, sama-sama. Kalau butuh apa-apa, bilang ke Mas aja."

"Iya. Makasih banget lho, Mas. Aku ngerepotin banget, ya."

"Enggak kok, sama sekali enggak, Mas malah seneng kalau sampean ke sini, kalau gitu Mas balik dulu ya, Assalamu'alaikum."

"Wa'alaikumussalam," balas perempuan itu lalu masuk ke kamar yang ditunjukkan Gus Akhya tadi.

Aku melihatnya dengan segala kebisuanku, tidak mengerti kenapa sesakit ini melihatnya dengan perempuan lain. Kembali ke kamar, air mataku kembali jatuh. Apa yang Gus Akhya mau? Katakan saja aku pasti menurutinya. Tidak perlu membawa perempuan lain ke dalam rumah tangga kami. Rasa sesak itu kian menjadi saat bayangan perempuan tadi memanggilnya dengan sebutan 'mas'. Apa ia memang berniat membuatku cemburu?


____________________________________

(*) Cepat turun, sudah ditunggu umi dan abi

Insya Allah Gus [Repost]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang