BAB 38

20K 1K 49
                                    

"Mas berangkat dulu, ya?" pamit Akhya sambil mengacak jilbab Fitri.

"Iya, hati-hati," balas Fitri sambil tersenyum, Fitri mengulurkan tangan untuk menyalami Akhya. "Ehm, Gus!" panggil Fitri saat menuruti anak tangga.

"Ya?"

"Nanti beliin Fitri lemon, ya?" pintanya.

"Buat apa?"

"Pingin lemon tea."

"Ehm, oke. Ada lagi?" Akhya menaikkan satu alisnya.

"Gus cepet pulang," jawab Fitri sambil nyengir.

"Dasar." Lagi-lagi Akhya mengacak jilbab Fitri sambil terkekeh. Tumben sekali Fitri memintanya untuk pulang cepat.

Fitri kembali ke kamarnya, melihat foto pernikahannya dengan Akhya suaminya. Tidak terasa sudah banyak bulan mereka menikah, juga setelah ia memutar kembali memorinya, apa yang sudah ia berikan untuk Akhya? Di awal pernikahan Fitri menyia-nyiakan Akhya. Ah, bukan menyia-nyiakan, tapi belum bisa menerima saja. Dalam foto yang ia lihat, ia melihat dirinya sendiri tersenyum terpaksa.

Sudah banyak kejadian yang mereka lalui bersama, bagaimana ia mulai bisa menerima dan membuka hatinya untuk Akhya. Kesalahanpahaman Akhya pada Faiz. Sebenarnya masih banyak lagi, dan yang terakhir kemarin. Ia diculik oleh rekan bisnis Akhya. Satu lagi, ia kehilangan calon anaknya karena hal itu, bahkan sebelum ia tahu jika ia sedang berbadan dua.

Fitri tersenyum sendiri mengingat itu semua, sungguh perjalanan yang amat panjang. Perjalanan yang sebenarnya baru akan dimulai, jalan yang harus ia tempuh masih panjang di depan. Kebahagiaan dan masalah demi masalah masih menunggunya di depan. Menyambutnya dengan senang hati malah.

Masa lalu adalah guru terbaik untuk kita ke depannya, untuk kita instrospeksi diri. Untuk memperbaiki sesuatu yang belum sempurna. Di mana jika kita mengingat masa lalu, itu akan menjadikan kita lebih berhati-hati agar tidak masuk ke jurang yang sama. Jangan membenci atau ingin melupakan masa lalu dan masalah, karena keduanya yang akan mengajarkan kita untuk lebih dewasa.

***

Hari sudah berganti, tiba sudah hari Ahad, hari libur. Hari yang ditunggu-tunggu oleh semua orang. Seperti biasa, saat bangun tidur selalu saja ada beban yang menimpa perut Fitri, siapa lagi pelakunya kalau bukan Akhya. Fitri perlahan bangun dan menyenderkan tubuhnya di kepala ranjang. Meski beberapa kali gerakan ia lakukan Akhya tidak terganggu sama sekali, masih lelap. Mungkin masih lelah karena semalam ia lembur memeriksa banyaknya proposal yang diajukan ke perusahaannya, dan juga memeriksa laporan keuangan bulan ini.

"Gus," panggil Fitri pelan sambil mengelus kepala Akhya. "Gus, bangun." Masih dengan mengelus kepala Akhya. Akhya menggeliat terganggu.

"Ehm?" sahutnya masih belum sadar.

"Bangun, tahajudan dulu," ujar Fitri.

Akhya ikut menyenderkan tubuhnya sama seperti Fitri. Dilihatnya lekat-lekat wajah Fitri yang masih polos. Sesaat kemudian Akhya tersenyum manis. "Fabiayyi aala irobbikuma tukadzdzibaan," lirih Akhya sambil menangkup wajah Fitri. Mendengar itu Fitri menjadi diam, tapi bisa ia rasakan kalau sekarang wajahnya memanas. "Fit," panggil Akhya.

"Ya?"

"Sampean pakai apa?"

"Hmm?" bingung Fitri. "Fitri enggak pakai apa-apa, kan baru bangun."

"Terus itu apa? Kok pipinya merah? Hm?" goda Akhya.

Fitri dibuatnya salah tingkah, ia menunduk sambil tersenyum malu. "Eng-enggak, udah ah, sana! Sampean wudhu dulu!" titah Fitri mengalihkan pembicaraan.

Insya Allah Gus [Repost]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang